Persaksian tentang Fitnah Sururiyah di Indonesia
Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed hafidzahullah
Download Audio
[Transkrip]
Sururiyyah terus melanda muslimin Indonesia
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Manhaj, 04 - Februari - 2004, 00:42:39
(Dimulai dengan Khutbatul Haajjah)
Alhamdulillah, ama ba’du
Ikhwani fiddin a’azakumullah...
Disini
ada pertanyaan yang berkaitan dengan fitnah Sururiyyah. Dan berkaitan
pula dengan tokoh-tokohnya dan orang-orangnya. Ditanyakan disini dari
mulai Abu Qatadah (Da'i Al Sofwah Jakarta, red), Abu Haidar (As Sunnah,
Bandung, red),Yazid Jawwas (rekan Abdul Hakim Abdat, da'i Al Sofwah/Al
Haramain, red), Abu Nida' (At Turots, Jogjakarta red), Aunurofiq Gufron
(Ma'had Al Furqan, Gresik, red), Yusuf Bai’sa (Ma'had Al Irsyad,
Tengaran, Salatiga, red), Abdurrahman Abdul Kholiq, Ainul Harits,
Arifin, Abdul hakim Abdat (da'i Al Haramain/Al Sofwah), dan
lain-lainnya. dan kemudian ditanyakan pula Al-Sofwa, At Turots, Al
Irsyad, dan lain-lain.
Tentunya lebih tepat kalau saya jawab
dari belakang dulu, dari organisasinya dulu, dan lebih bagus lagi kalau
saya menerangkan pada antum tentang fikrohnya dulu, ya’ni fikroh
sururiyyah dulu . Ya’ni Sururiyyah berasal dari kata Surur atau dari
nama Muhammad Surur Nayif Zainal Abidin. Muhammad Surur adalah seorang
yang tadinya Ikhwanul Muslimin (IM), kemudian dia keluar dari IM, dan
kemudian mengaku Salafy. Orang yang sejenis Muhammad Surur ini banyak,
seperti Abdurrohman Abdul Khaliq itupun dari IM kemudian keluar dan
kemudian mensyiarkan dirinya sebagai salafy. Atau mengaku salafy.
Orang-orang
jenis ini mereka keluar Ikhwanul Muslimin dari Harokah IM, atau partai
politik IM atau keluar dari kelompok firqoh IM, dan menyatakan taubat
dari IM, dan menyatakan taubat "saya keluar dan saya taubat" seperti
juga Muhammad Quthub itu juga mengaku kelauar dan kembali kepada salaf ,
tetapi dalam perjalanan mereka yang katanya mau kembali kepada Salaf,
ternyata masih memiliki fikroh ikhwaniyyah. Fikrohnya Ikhwanul Muslimin
atau prinsip cara berfikir Ikhwanul Muslimin. Yang tentunya kita harus
tahu bahwasannya prinsip IM ini berarti atau prinsip Sururiyyah ini
berari sama dengan prinsip IM sesungguhnya, hanya beda istilah saja.
Apa
yang dikatakan oleh para IM juga diucapkan pula oleh Sururiyyin,
hakikatnya. Dengan cara dan bentuk istilah yang berbeda tapi intinya
sama maka. Kalau begitu sururiyyah sama dengan ikhwaniyah dan kita perlu
menerangkan tentang Ikhwanul Muslimin itu sendiri. Ikhwanul Muslimin,
prinsip bid’ah mereka yang menjadikan mereka menjadi kelompok sempalan
yang keluar dari Ahlus Sunnah adalah karena mereka memiliki prinsip
“Nata’awan fima tafakna wa na’dziru ba’dina ba’don fi makhtalahna”, kata
mereka, "Kita saling kerjasama apa yang kita sepakati dan kita
hormat-menghormati saling memaklumi apa yang kita berbeda".
Iini
prinsipnya IM, saya ulangi Nata’awan fima tafakna, "Kita saling kerja
sama saling bantu membantu dalam apa yang kita sama, kita sepakati dan
kita memaklumi hormat menghormati, dengan apa yang kita berbeda". Dengan
prinsip ini IM tidak menganggap ada ahlil bid’ah sama sekali, semuanya
kawan tidak ada lawan. "Ahlil bid’ah mereka sama-sama sholat dengan
kita, maka kita tolong menolong dalam apa yang kita sepakati, mereka
sama-sama…", pokoknya apa yang kita sama kita kerja sama, ini IM.
Sehingga Hasan Al-Banna, At-Turobi, dan sekian banyak tokoh-tokoh mereka
selalu berusaha menggabungkan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan mereka
mengatakan yel-yel "Laa Syarqiyyah, Laa Gharbiyyah, Laa Sunniy, wa Laa
Syi’ah, Islamiyyah, Islamiyyah," itu yel-yel yang selalu mereka
dengungkan anasid dengan sair, dengan nyanyi dengan ikrar, "Tidak Timur
tidak Barat, tidak Sunni tidak Syi’ah yang penting Islam" - kata mereka
-, ini prinsip mereka yang kemudian ditebarkan pada masyarakat. "Kalian
jangan ribut terus, sudahlah jangan saling menyalah-nyalahkan, semuanya
apakah dia salaf apakah dia sufi, apakah dia mutazili, syiah, semua itu
saudara, semua muslimin. Apa yang kita sama kita tolong menolong dan apa
yang kita beda, kita hormat-menghormati", katanya begitu. Ini sepintas
kilas perkaranya agak masuk akal, "Iya ya, kalau nggak gini gak akan
bersatu ? ". Ya, sepintas kilas kalau kalau dipikir akal saja.
Padahal
kata para ulama prinsip ini akan meruntuhkan agama secara keseluruhan
dan prinsip ini menggugurkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. [ketika kamu] mau
mengingkari kebid’ahan, [mereka katakan: ] “...jangan ya akhi kita harus
saling menghormati, kita jangan menyalahkan mereka." Begitulah,
sehingga tidak ada amar ma’ruf nahi munkar. Dan berarti membolehkan
manusia berjalan di jalan bid’ah manapun, ini sudah jelas sesatnya.
Sehingga di dalam Ikhwanul Muslimin, jangan kamu kira mereka sama
statusnya, fikirannya, aqidahnya.
Di kalangan IM ada Sufi,
Syi’ah,ada semua ahli bid’ah kecuali Salafy. Kenapa? Yang Salafy dalam
masalah Aqidahnyapun prinsipnya tetap prinsip ikhwan. Prinsip Aqidahnya
yang katanya Salafy, tetapi tetap menghormati Ahlul Bid’ah. Dan ternyata
ini adalah yang namanya Sururiyyin. Dalam aqidah katanya mempelajari
aqidah Salaf - katanya -, tetapi prinsipnya sama, sesama ahlul bid’ahpun
harus saling menghormati dan sebagainya. Ini prinsip utamanya.
Namun
sekarang ketika orang-orang yang dulunya keluar dari IM tadi apakah
Muhammad Surur apakah Abdurrahman Abdul Kholiq apa Muhammad Qutub dan
menyatakan "IM itu salah, IM itu sesat kami kembali kepada Salaf".
Ternyata mereka mengajarkan aqidah Salaf, mengajarkan aqidah Salaf
sehingga sama dengan Salafiyyin, tetapi mereka tetap mengatakan bahwa,
"...ahlul bid’ah juga punya kebaikan, jadi jangan dimusuhi 100 persen,
mereka juga punya kebaikan, kita bisa ambil kebaikan dari mana saja."
Nah ini lihat, kalimat, "mereka juga punya kebaikan, kita bisa ambil
kebaikan dari mana saja". Itulah sesungguhnya terjemahan dari apa yang
dikatakan Ikhwanul Muslimin, yaitu saling hormat-menghormati, inilah
yang akhirnya menjadi masalah.
Akhirnya segala macam orang-orang
yang keluar dari IM yang dielu-elukan taubat - masya Allah-, sebagai
seorang Salafy sekarang. Ternyata warnanya kok lama kelamaan agak
berbeda kok aneh, kok agak beda, ketika tambah jauh, tambah kelihatan
berpisahnya antara para Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, Salafiyyun dengan
tokoh-tokoh mereka. Agak berbeda, terus begitu, kemudian dalam masalah
sikap pemerintah juga berbeda, dalam masalah politik juga berbeda,
mereka sama seperti IM.
Sekali lagi sama, cuma
istilah-istilahnya yang berbeda. Mereka mengatakan pentingnya Tsaqofah
Islamiyyah, ini Ikhwanul Muslimin. Tsaqofah Islamiyah adalah wawasan.
Kata Ikhwanul Muslimin, "Kita jangan terpaku dengan Quran Sunnah saja,
tetapi tidak mengerti situasi dan kondisi politik yang ada, kita harus
ikut menyaksikan kondisi politik sepaya kita bisa bersikap supaya kita
bisa berjuang dengan jihad politik", katanya. Itu IM, terang-terangan
mengatakan jihad politik. Makanya banyak istilah-istilah yang dipakai
oleh para politikus sekarang ini, ada jihad politik, ada apa segala
macam itu, itu karena diantaranya mereka banyak terbawa dengan
tokoh-tokoh IM di dalam partai Keadilan dan sejenisnya. Kemudian mereka
yang telah keluar dari IM, ternyata fikrah-fikrah itu masih ada, tetapi
istilahnya agak ganti dengan bahasa Fiqhul Waqi’. Salman Audah, A’idh Al
Qorni, kemudian siapa lagi … Muhammad Surur dan sebagainya semuanya
mengelu-elukan, “Jangan kita selalu Kitab Sunnah, Kitab Sunnah, tetapi
tidak memperhatikan lingkungan kita, lingkungan situasi-kondisi kita
tidak tahu, kita harus tahu, kita harus belajar satu ilmu namanya Fiqhul
Waqi’, memahami kenyataan yang terjadi". Sama toh dengan yang tadi?
Kalau tadi dengan istilah Tsaqofah, sekarang dengan istilah Fiqhul Waqi.
Abdurrahman Abdul Khaliq ketika Fiqhul Waqi’nya dibahas oleh
para Ulama, lain lagi dia istilahnya bukan Fiqhul Waqi’, tetapi setali
tiga uang, persis. Kata Abdurrahman Abdul Kholiq, "Kita dalam memahami,
dalam berdakwah ini selain ini, kita harus punya Shifatul ‘Asr". Ini
istilahnya Abdurrahman Abdul Kholiq. Apa shifatul ‘Ashr ? Al ashriyah
dengan gaya bahasa dia bilang "Ashriye, kita harus tahu Al Ashriye",
yakni 'keadaan kondisi situasi politik yang ada', begitu, sama ternyata.
Dan ingat bukan berarti Ahlussunnah wal jamaah dan para Ulamanya
menentang perlunya fiqhul waqi’ atau tsaqofah atau shifatul Ashr bukan
menolak perlunya. Perlu tetapi itu berada di bawah, di bawah dan di
bawahnya dan hukumnya fardu kifayah. Bukan harus apalagi wajib apalagi
diutamakan di atas ilmu-ilmu lain. Ini mereka menggembar-gemborkan
dengan keras dan mereka mengangkat setinggi-tingginya, ilmu yang besar,
ilmu yang tinggi yaitu fiqhul waqi’, shifatul ashriye dan seterusnya.
Kenapa
sih? Ada apa sih? Kok mereka menggembar-gemborkan itu. Sama dengan
Salaf mereka, Salaf mereka lho ya, yang tidak shalih yaitu Ikhwanul
Muslimin. Sama yaitu ingin mengangkat tokohnya tapi tidak punya ilmu
yang menonjol, mau mengangkat tokohnya ini, ingin mengangkat Sayyid
Qutub, dari sisi apa? Dia ahli dalam bidang apa? Ibn Katsir ahli dalam
bidang tafsir sehingga disebut sebagai ahli tafsir dan seterusnya.
Kemudian para Ulama, Syaikh Utsaimin, Syaikh Bin Baz, fuqoha ahli faqih -
masya Allah-. Dan para ulama terkenal dengan ilmu mereka sehingga ada
yang disebut sebagai Faqih, Ahli Tafsir, Muhadits seperti Syaikh
Al-Albany, ada yang disebut sebagai Mufassir ahli tafsir, dan
sebagainya. Lantas, mereka mau mengangkat tokoh-tokonya ini, mau
mengangkat Sayyid Quthub. Ini mau dimasukkan ke golongan mana ? kepada
Mufassirin, bukan ahli tafsir, mau digolongkan Muhaditsin, bukan ahli
hadits, mau digolongkan Fuqoha bukan ahli fiqih, ini ahlinya apa?
Akhirnya mereka muncul ide, 'ini orang walaupun dalam masalah itu tidak
menonjol', tetapi ia memiliki ilmu yang penting, yaitu memahami situasi
dan kondisi politik, situasi dan kondisi masyarakat dan sebagainya, ini
ahli ini orang, jadi kita harus angkat Fiqhul Waqi.
Jadi kata
syaikh Robi dan kata ulama lain yang mengatakan bahwa istilah Fiqhul
Waqi, adalah untuk mengangkat tokoh-tokohnya, jadi diapun ‘alim minal
ulama'. Ahli di bidang apa? Ahli di bidang Fiqhul Waqi’. Jadi kamu
'ngertinya' fiqhul syari’ah, fiqhul ahkam, ini fiqhul waqi’ ??? Dan -
subhanallah - ini diikuti oleh para sururiyyin.
Diantaranya
Haddatsana Umar Jawwas, qola sami’tu Abdul Malik (seorang Surury yang
belajar di Riyadh sama tokoh sururi disana namanya Abdul Karim, yang ini
turunannya membikin pondok 'Alamus Sunnah di Bogor dan As-Sunnah di
Cirebon), katanya : "Bahwasanya Ulama itu ada dua, ada Ulama Syumul, ada
Ulama Takhossus". Dan ada sanad lain, sanadnya saya dengar dari Yahya
Ba’adil (kakak Yazid Ba’adil, Jember), ini sanadnya lebih 'ali (tinggi),
dia pulang dari Riyadh, duduk sepesawat dengan Abdul Karim (tokoh yang
tadi itu), setelah tanya jawab, dia masih belum kenal betul siapa dia.
Terus cerita kepada saya : "Kemarin ketemu orang namanya Abdul Karim,
begini-begini… "; [ana bilang: ] "Hah, ente ketemu, ngomong apa dia
[Yahya Ba'adil] ?", dia bilang katanya : "Ulama itu ada dua ada ulama
Takhosus dan ada ulama Syumul".
Ulama Takhosus itu ulama dalam
bidang fiqih, ya (yang diketahui) fiqih saja, ahlu tafsir, tafsir saja,
ahli hadits, hadits saja, tapi tidak mengerti yang lain. Adapun Ulama
Syaamil (katanya), ulama lengkap, yaitu ulama yang mengerti semuanya itu
dan mengerti Fiqhul Waqi'. Jadi ...? Ustadz Muhammad : "Siapa yang
dimaksud itu, ente nggak tanya?", jawab Yahya : "Iya saya nggak tanya".
Ustadz Muhammad, "Coba tanya…". Ustadz Muhammad :"Ana bilang,
sesungguhnya kalau dia ditanya yang dimaksud takhosus tuh, Syaikh Albani
hadits saja, Syaikh bin Baz,… karena sudah dikatakan dalam
majlis-majlis lain mereka bilang begitu, "Syaikh bin Baz itu ngerti apa
tentang politik", begitu katanya. "Mereka tuh ngerti apa, sehingga
percuma fatwanya gak diterima", jadi mereka menganggap ulama yang Syumul
itu Qaradlawi (Yusuf Qardlawi, red), Muhammad Ghozali, Sayyid Qutub
(pengarang Fi Dhilalil Qur'an, red) dan sebagainya itu tadi.
(Ulama
yang) dikatakan lengkap, karena dia mengikuti apa yang terjadi.
sedangkan ulama-ulama tadi itu ulama Takhosus khusus itu saja di
bidangnya, sehingga, kata orang tadi, "Kalau kita meminta fatwa tentang
politik jangan sama mereka, jangan tanya sama mereka karena fatwanya
nggak bisa diterima, mereka nggak ngerti Fiqhul Waqi', karena mereka
nggak ngerti shifatul 'ashr, karena mereka nggak, mengerti apa itu tadi,
tsaqofah".
Jadi tanyanya sama… akhirnya ditulislah buku
Dalilut-Tholibah oleh Muhammad Kholaf, judul bukunya Dalilut Tholibah,
Bimbingan untuk pelajar Putri, isinya ? Ketika masalah ahkam dan
sebagainya dari Syaikh Muhammad Al Utsaimin yang dinukil, dan habis itu
ada tanya jawab dalam masalah Da’wah dijawab oleh Salman bin Fahd Al
Audah. Ini menunjukkan prinsipnya dia Muhammad Khalaf adalah pendiri
Al-Sofwa, nah terjawablah (apa dan siapa itu) Al Sofwah.
Jadi
dia menulis buku itu dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tidak
tahu apa judulnya dalam bahasa Indonesia. Jadi begitu ketika masalah
fiqih, syaikh Utsaimin, ketika masalah dakwah, nggak terima Syaikh
Utsaimin, "Salman Audah yang lebih mengerti Fiqhul Waqi'". Inilah
model-model sururiyin. Apakah Ikhwanul Muslimin, ataupun Sururiyyin,
atau nanti ada nama lainnya, jenis lainnya, maka mereka semua prinsipnya
sama bahwa mereka akan menjauhkan para Salafiyyin dari Ulamanya dan
mereka berusaha mentaqrib (mendekatkan) Ahlus Sunnah dengan Ahlul
bid’ah. Maka kamu lihat tokoh-tokohnya, satu-satu tadi itu, bagaimana
keadaannya, bagaimana Yazid Jawwas dengan tokoh-tokoh Dewan Da’wah
(DDII, red) dan tokoh-tokoh IM, bagaimana Yusuf Ba’isa dengan Salim
Bajri, yang mu’tazilah yang menolak Hadits Shahih Bukhari.Katanya (Salim
Bajri) : “Jangan taqlid dengan Imam Bukhari!”. Ini (si Salim) masih
tetep bareng dengan Yusuf Ba'isa sekarang ini. Lalu, apa lagi yang lebih
besar dari itu !!?.
Kita yang kemarin terpaksa ketemu dengan
ahlul bid’ah itu gemetarnya sampai hari ini belum hilang."Wa atuubu
ilallah", karena masalah kemarin sampai Laskar Jihad yang sudah besar
kita beberkan, karena masalah itu tadi yang kita takuti. Bagaimana kita
bergaul dengan ahlul bid’ah, "Tidak !!!, coret !!?. Silang!!! Habis.!!!"
Masa-masa itu kita tutup!. Kalau sampai jihad membawa kita kepada
pergaulan dengan ahlul bid’ah seperti itu, tidak ada jihad-jihadan.
Bathil (keliru), bubar, khan begitu !!! Ini…? Tidak dalam keadaan jihad
atau bukan jihad bukan dalam perjuangan, bukan perang, bukan dalam
keadaan apapun, sama mereka 'ahlan-ahlanan' (lemah-lembut, red). Buat
acara bersama, bikin pertemuan bersama dan seterusnya!!?.
Dan
kemudian, baru setelah kita jawab beberapa tokoh, Muhammad Sururnya,
Abdurrahman Abdul Kholiqnya, dan kemudian Salman Audah, kemudian Abdul
Karim Al Katsiri dari Riyadh, nah ini mereka !. Kemudian dari sisi
politiknya, mereka membolehkan masuk ke dalam parleman atau masuk dalam
partai-partai. Tidak mesti diantara mereka sampai masuk ke dalam
marhalah ini. Diantara mereka masih marhalah satu, ada yang marhalah dua
ada yang ketiga ada yang sudah keempat. Tetapi ciri yang umum adalah
itu tadi, yaitu mereka bergampang-gampang dengan dengan Ahlul Bid’ah,
meremehkan ahlul bid'ah, maksudnya meremehkan itu, meremehkan bahayanya.
Bukan artinya kita mengecilkan, jelas kita juga mengecilkan
mereka, tetapi yang dimaksud adalah mereka meremehkan bahayanya ahlul
bid'ah. "Mereka juga punya kebaikan, mereka juga punya suatu kelebihan,
kita diperintahkan oleh Allah untuk mengambil ilmu dari mana saja,
jangan lihat siapa yang berbicara, lihat ucapannya bagaimana ?" Jadi
ucapannya yang kita lihat, orangnya siapa saja ahlul bid'ah atau Ahlus
Sunnah", begitu ? Ini sudah terucap dari Yusuf Ba'isa banyak, entah dari
yang lain saya belum tahu. Maka mereka ini ada ternyata turunannya
Abdul Karim Al Katsiri turunannya mendirikan pondok, membiayai di
'Alamus Sunnah Bogor dan di Cirebon ini, As Sunnah. Kemudian Abdurrahman
Abdul Khaliq, Tengaran, membiayai, membantu, mengirimkan orangnya dan
datang ke Tengaran. Jadi sudah tidak bisa diingkari lagi, tidak bisa
diingkari lagi, kalau mereka ini grupnya Abdurrahman Abdul Kholiq yang
sudah dibantah oleh para Ulama.
Bukan satu-dua Ulama, tetapi
para Ulama, termasuk Syaikh Muqbil yang di Yaman atau Syaikh Rabi' Ibn
Hadi yang di Saudi, yang (keduanya) berjauhan, keduanya membantah
Abdurrahman Abdul Kholiq. Demikian pula ulama yang lain, banyak. Ini…???
Datang ke indonesia ke Tengaran itu disambut diberi tempat dan dibikin
dauroh oleh Yusuf Utsman Ba’isa - yang sesungguhnya masih misan saya -
anaknya paman saya. Seperti itu, (Abdurahman) datang, dikasih tempat,
dikasih kesempatan untuk bicara, (lantas) diundang semua para da'i.
Waktu itu kita sudah tahu Abdurrahman Abdul Kholiq, tetapi ada berita
dia taubat menulis surat kepada Syaikh bin Baz dan menyatakan pernyataan
taubatnya, maka pada waktu itu (Ustadz) Ja’far menyuruh saya, "Coba
kamu lihat, betulkah sudah taubat !". Maka saya hadir dalam keadaan
bertanya-tanya benar sudah taubat atau tidak. Saya duduk dia berbicara,
ini pada da’i semua nih, da'i kumpul semua, Abu Nida ada, Sholeh Su’aidi
ada, siapa lagi…, semua... Yusuf yang mengundangnya, Ahmas Faiz ada,
lengkap, Abu Haidar ada. Kemudian bertanya,"Syaikh, bagaimana mengatakan
Yusuf Qardhawi dengan Yusuf Al-Quradly, apa boleh itu ?" - maksudnya
ingin menjelekkan Ustadz Ja'far yang pada waktu itu menyebut Yusuf
Qordhowi dengan Yusuf Al Qurodly- . Abdurrahman Abdul Khaliq ngamuk,
ngamuk besar, saya sampai bengong, dibela mati-matian Yusuf Qordowi.
"Afna hayatahu fi da'wah".
Saya mendengar sendiri, ya'ni tidak
pakai sanad, sami'tu, tinggal kalian percaya sama saya atau tidak. "Asma
biudinayya", saya mendengar dengan telinga saya sendiri. Dia
(Abdurahman) mengatakan,"Afna hayatahu fi da'wah, Yusuf Qardhawy ini
menghabiskan umurnya dalam dakwah, kemudian kamu cela seperti itu?
Wallahi hadza adalah perbuatan Khawarij", kata dia, khawarij itu adalah
kafir, kemudian disebutkan tentang kafirnya Khawarij !!!
Saya
bingung, satu pembelaannya terhadap Qardhawi mati-matian padahal
Qaradhawi adalah aqlani. Sampai Syaikh Muqbil menulis kitab "Iskatu
kalbun awi fi roddi ala Yusuf Qordowi, “Mendiamkan anjing yang
mengonggong, sebagai bantahan kepada Yusuf Qardhawy”. Disebutkan 'Iskatu
kalbun awi fi roddi ala Yusuf Qordowi', ini dibela mati-matian oleh
Abdurrahman Abdul Kholiq. Itu yang pertama !!! Dan kemudian yang kedua
dia mengkafirkan Khawarij, padahal Ali bin Abi Thalib sendiri mengatakan
'minal kufri farru', justru dari kekufuran mereka lari, kata Ali bin
Abi Thalib ketika ada yang mengatakan kufar. Tidak, justru karena takut
kafir sampai mereka ekstrim, sampai melampaui batas, kemudian yang
ketiga celaannya terhadap Salafiyyin sehabis itu, "Memang salafiyyin itu
kaku…" dan seterusnya.
"Wallahi, demi Allah saya mengeluarkan
air mata waktu itu, nangis, kenapa ?" Bukan hanya ucapan Abdurrahman
Abdul Kholiq yang bejat, tetapi dengan senyum-senyumnya para du'at,
kenapa mereka koq senyum senyum melihat ucapan yang kayak gini ini,
melihat ini kenapa? Sholeh Su'aidi, kemudian Abu Nida dan sebagainya,
seakan-akan tidak ada masalah dan merasa menang bisa mengalahkan Ustadz
Ja’far dan Ustadz Muhammad. Nah…, kena lo!!, seakan-akan begitu,
senyum-senyum dengan jawaban Qordowi sambil gini-gini, sambil gerakkan
badannya, Ajib (aneh, red). Ini juga yang membikin kita sedih. Maka ini
dosanya Yusuf Ba’isa menyebarkan kesesatan melalui Abdurrahman Abdul
kholiq dan mengundang orang-orangnya. Lantas da'i itu pulang, da'i
pulang itu akan disampaikan kepada murid-muridnya, itu Tengaran !!!
(markas Al Irsyad, Tengaran, Salatiga, red)
Dan juga termasuk
turunannya dari Abdurrahman Abdul Khaliq, karena dia pemimpin organisasi
dana bantuan Ihya ut Turots, maka diapun mengucurkan dananya kepada
berbagai macam pihak untuk menjadi corongnya, diantaranya Abu Nida cs di
Yogya yang kemudian bikin pondoknya, "Bin Baz atau apa ? Kemudian yang
di Solo, Ponpes Imam Bukhari dan seterusnya. Kkemudian membiayai untuk
menerbitkan majalah As-Sunnah, Al-Furqon, kalau Al Furqon dengan
majalahnya mereka, mereka punya majalah Al Furqon, majalahnya sururi
Abdurrahman Abdul Kholiq, Abdurrahmaniyun.
Kemudian yang ketiga,
turunannya Muhammad Surur. Muhammad Surur punya yayasan di London, di
Birmingham, Punya Yayasan namanya Al-Muntada, grupnya, kalau bukan
Muhammad Sururnya grupnya, ya.. dan menerbitkan majalah As-Sunnah, sama
(namanya) dengan yang di Solo.
Kemudian As-Sunnah ini pertama
dipuji oleh Ulama, karena biasa, sururiyun pertama menyebutkan yang
bagus-bagus, salafi semua salaf, wah… bagus, dan kemudian bergeser
kepada apa yang mereka mau sampai pada titik puncaknya ucapan mereka
yang jahat kepada Ulama, yaitu mengatakan bahwa Taghut itu
bermacam-macam, ini kata muhammad Surur di dalam majalah As Sunnah,
Toghut itu bertingkat tingkat. Toghut yang paling adalah Clinton dan
sebentar lagi Bush katanya, menujukkan kalau mereka tahu Fiqhul Waqi’.
Jadi setelah Clinton itu pasti Bush, padahal belum diganti pada waktu
itu!! Dan Toghut tingkat keduanya adalah para pimpinan-pimpinan negara
Arab !! Apa semua pimpinan negara Arab kufar semua ? Atau ada yang
kufar? Atau tidak kufar semua? Kok dikatakan Toghut !!? Toghut itu lebih
dari kafir sudah. Dikatakan toghut selanjutnya adalah para raja-raja
Arab, karena apa? Karena mereka menyembah taghut Bush atau Clinton itu
tadi, dan mereka berkiblatnya adalah ke Gedung Putih, bukan ke Kab’ah
katanya, termasuk raja Saudi yang dimaksud ? Dan kemudian tingkatan
yang ketiga dari Toghut adalah para Ulama-ulamanya, Ulama-ulama Arab,
ini yang dimaksud adalah Saudi, kelihatan... Yaitu yang mencarikan fatwa
untuk para thaghut-thagutnya. Kalau Toghutnya ingin halal, maka
mencarikan dalil untuk menghalalkannya, kalau mereka ingin haram, maka
mereka mencari dalil-dalil untuk mengharamkannya. Kalau mereka sedang
bertikai dengan Iran maka mereka para ulama-ulamanya mengumpulkan dalil
tentang jeleknya Syi'ah, jelaskan maksudnya kemana walaupun disebutnya
Arab.
Akan tetapi jelas maksudnya adalah Saudi dan berarti
ulamanya adalah ulama yang kita kenal, apakah Syaikh Bin Baz, apakah
Syaikh Utsaimin itui yang dimaksud dan lain-lainnya. Kalau berseteru
dengan Iran mereka cari dalil tentang jeleknya Syi'ah, dan kalau
berseteru dengan Irak, nah ini mulai tambah dekat, karena pada waktu itu
kejadian Irak, baru, maka mereka ramai-ramai mencari dalil jeleknya
Ba’tsi, dst, Sosialisme. "Mereka ini adalah para penjilat-penjilat
munafiqun", katanya.
Dengan tulisan inilah hancur As-Sunnah dan
grupnya, sampai para Ulama membantah dengan keras, habis sudah,
ditahdzir. Setelah ditahdzir, sebagaimana biasanya mereka selalu
berganti pakaian. Ditahdzir ganti pakaian itu biasa. Maka mereka
mengatakan, " Memang As-Sunnah itu jelek, As-Sunnah itu ekstrim,… " dan
sebagainya.
Akhirnya (mereka) bikin yayasan baru, namanya nama
baru, bikin majalah, majalah baru. Yayasannya Al-Muntada, majalahnya
adalah Al-Bayan, bukan lagi As-Sunnah tetapi Al Bayan. Sehingga
Salafiyyin di Saudi kalau sedang menjelekkan Sururiyyin, mengatakan
'Lakumul Bayan was Sunnah wa lanal Kitab was Sunnah !' “Kamu itu punya
Al-Bayan dan As-Sunnah, sedangkan kami berpegang kepada Al-Kitab dan
Sunnah.” Maksudnya Al Bayan dan As-Sunnah artinya majalah Al-Bayan,
kemudian As-Sunnah. Dan yayasan Al-Muntada London ini membuka cabang di
Indonesia. Dan ini tidak pakai sanad lagi, dan saya langsung diajak
untuk mendirikannya. Pada saat itu saya tidak tahu apa-apa sama sekali
nggak ngerti. Karena seperti biasa mengaku Salaf, saya tidak pernah
denger yang namanya Al-Muntada sama sekali, wala (tidak) di London wala
di indonesia wala dimanapun !!?
"Ana gak paham makanan apa itu,
gak tau". Orangnya. "kita, dakwah Salafiyah di Indonesia perlu diberi
dukungan dan sebagainya, kita perlu bikin yayasan dana bantuan untuk
membantu Ssalafiyin, untuk membantu salafiyin." Thoyyib (baiklah) kita
bikin, saya termasuk pendirinya. Namanya Al-Muntada, persis sama dengan
apa yang di London jadi jangan pura-pura, saksinya masih hidup sampai
sekarang. Kemudian dalam keadaan saya masih di situ, mereka ganti
menjadi Al-Sofwa, lho kok diganti Al-Sofwa ??? Padahal saya gak pernah
ikut rapat dan sebagainya. "Tidak, mereka minta ganti nama", selalu
demikian setiap ada keputusan. "Apa kita tidak bisa punya pendapat ?".
Padahal kita pendiri waktu itu, tetapi semua keputusan Muhammad Kholaf
yang bilang, "mereka…, mereka…." Atau dia istilahkan dengan "Ashabi…,
ashabi….". “Sahabat-sahabatku minta begini, sahabat-sahabatku minta
begini…”, Siapa? Saya berfikir berarti ini ada atasannya, berarti ini
adalah cabang dari sana.
Sampai kemudian saya datang kepada
Syaikh Rabi’, waktu saya tugas di Qosim di Unaizah saya ada kesempatan
ke Madinah mampir, saya ke tempat syaikh Rabi' tanya langsung tentang
Al-Sofwah. Dulunya namanya Al-Muntada, " Ah…, Al Muntada?", "Ya, terus
ganti dengan Al-Sofwa" . "Al-Muntada sama dengan yang di London?".
"Na'am, ya syaikh, katanya begini dan begini", saya terangkan, "Kalau
itu betul dari mereka, lihat nanti, mereka akan menjadi penghalang
pertama dakwah Salafiyyah". Dan saya tidak ke sana lagi selamanya
abadan, abidiina. Dan saya bukan lagi pendirinya Alhamdulillah. Karena
dulu kita mendirikan Al-Muntada, kemudian dirubah oleh mereka diganti
dan entah tidak mengerti lagi saya pada waktu itu, sudah lain sama
sekali.
Dan didalamnya, waktu saya di situ saja pernah kita
tegur adanya orang dari IM," Syaikh ini orang dari ikhwan?", "La (tidak,
red).., kita tarik supaya jadi Salafy", katanya. Ya sampai hari ini dia
masih tetap. Orang Lampung, pada waktu itu da’i Ikhwani, di Lampung
digaji oleh Al-Sofwa. Kenapa tahu? Ya, karena sama saya sekelas orang
itu di LIPIA dan tahu betul dia ini IM !!?
Sehingga Ikhwana fiddin a'azzakumullah
Sudah
ada tiga jalur. Jalurnya Abdul Karim jalurnya ke Alamus Sunnah dan As
Sunnah Cirebon dan Abdurrahman Abdul Khaliq, ke Tengaran dan kemudian ke
Jogja dan Solo itu, Abu Nida dan Ahmas Faiz. Kemudian Muhammad Surur
nya langsung dengan As-Sunnah dan Al-Bayannya masuk ke Al-Sofwah, dan
kemudian dari Al-Sofwah ini disebarkanlah majalah Al-Bayan tadi. Dan itu
terang-terangan, bundelnya Al-Bayan di Al-Sofwa itu lengkap dan
disebarkan di seluruh Indonesia, termasuk ke Solo ke grupnya Ahmas Fais
dan grupnya Abu Nida termasuk yang dikirimi, entah itu apakah masih
berlanjut, karena saya tidak tahu, ataukah tidak.
Kemudian
ternyata mereka juga membantu dana kepada segala macam Ahlul bid’ah,
termasuk Ngruki (Ponpes AL Mu'min, Ngruki, kelompok Abu Bakar Ba'asyir,
red), Ngruki yang jelas-jelas seperti itu ya'ni pemikirannya pemikiran
NII. Kalaupun apakah asli ataukah pecahan saya gak tahu, pokoknya
pemikirannya seperti itu, pemikiran Khawarij, KGB, Khawarij Gaya Baru.
Itu dibantu, sampai kita tegur, waktu itu.
Itu dalam keadaan
masih kita tegur oleh kita, apalagi ketika sudah diboikot, sudah
ditahdzir mungkin tambah bebas mereka. Dengan alasan "O.. tidak, kita
tidak menyumbang gerakannya mereka, kita hanya menyumbang kitab. Jadi
menyumbang kitab itu supaya mereka baca kitab". Ternyata ketika ada
seorang yang ke sana, ada gedung baru, gedung perpustakaan bertingkat,
gedung besar, tanya : “Ini dibangun dari mana dananya?”, "Anu… dikasih
sama Al-Sofwa". Ternyata bukan buku tapi dikasih betul-betul berupa
gedung yang alasannya buat perpustakaan. Ini juga dari kedustaan dia,
membangun masjidnya ahlul bid'ah, banyak ya…. Hadza Al-Sofwah!!!
Dan
Yazid Jawwas mengatakan "Al-Sofwah itu Salafy", padahal tadinya ketika
dia masih sama kita dia mengatakan bahwa Al-Sofwa itu ikhwani, Surury,
tapi ketika dia bersama mereka sudah meninggalkan Salafiyyin, terus
omongnya sudah lain. Jalur apalagi yang belum saya sebut? Sudah ya?.
Dari
Al-Sofwa menyebarkan kepada diantaranya yang dibangun Al-Sofwah, dengan
da’i-da’inya, dengan biayanya dari A sampai Z adalah pondoknya Asmuji,
di Cilacap (Ma'had Imam Syafi'i, red), bahkan sampai diadakan
dauroh,yang pengajar-pengajarnya diambil dari grupnya mereka Sururiyin
di Riyadh, asli !!! Ini orang Arab mengajarkan bagaimana
pemikiran-pemikiran Sururiyyin, (langsung) diajarkan oleh mereka. Yang
juga dibantu oleh Al-Sofwa dan dan da'inya dari Al-Sofwah, sampai
diadakan dauroh yang mengisi daurohnya adalah IM, IM Arab!!!
Bayangkan
yang IM Indonesia saja bahaya apalagi IM Arab, yang biasa pakai bahasa
Arab dan pakai dalil-dalil, itu adalah Aunur Rofiq Ghufron, Gresik, yang
sampai Sururiyyin sendiri yang hadir ngomong, “Kok yang ngisinya Ikhwan
ya?”, (sudah) tahu mereka yang mengisinya adalah Ikhwanul Muslimin,
yang menyampaikan adalah anak buahnya Abu Nida yang di Jogja, yang
pernah di Pakistan, Abu siapa itu…? Itu yang mengatakan, "Iya, diantara
mereka ada ikhwan", katanya.
Bayangkan bukan lagi sururi, tapi
ikhwan ini yang mengisi, karena masalah fulus. Diberi mobil, diberi
dauroh, diberi bangunan, apa lagi...? Dan ini rasanya sudah terjawab
atau paling tidak tersebut semua rangkaiannya dan orang-orangnya juga
kan berarti...?
Aunur Rofiq Gufron sudah, Yusuf Baisa sudah kamu
tahu, Abu Nida sudah disinggung, Abu Haidar sama dengan Al-Sofwa,
karena bekerjasama dengan Al-Sofwa sampai sekarang. Bahkan Al-Sofwa
bikin cabang di Bandung dan yang mengurusnya Abu Haidar cs. Adapun Abdul
Hakim Amir Abdat dari satu sisi lebih parah dari mereka, dan sisi lain
sama saja. Bahwasannya dia ini, dari satu sisi lebih parah karena dia
otodidak dan tidak jelas belajarnya, sehingga lebih parah karena banyak
menjawab dengan pikirannya sendiri.
Memang (Abdul Hakim) dengan
hadits tetapi kemudian hadits diterangkan dengan pikirannya sendiri,
sehingga terlalu berbahaya, mengerikan, sampai-sampai dia melepas hijab
ketika kajian, "Tidak ada…, mana ? Hijab itu...?", begitu ? Jadi akhwat
tidak pakai hijab dengan ikhwan, kemudian dia menertawakan gamis. Ini
'ihtiza bi Sunnah !!! memperolok-olokan Sunnah !!!. Keras sekali
hukumnya dalam hukum Islam. Sururiy yang tadi itu tidak sampai separah
ini, dia mengatakan kepada teman-teman yang pakai jubah itu bahwa mereka
pakai rok katanya. "Ada apa kamu pakai rok? Kayak perempuan"!!!
Maksudnya mau membantah, kalau kamu katakan "Inikan Sunnah". Dan dia
akan bantah bahwa ini bukan Sunnah, sekalian menonjolkan ilmunya, "nih
saya tahu", dengan cara memperolok-olokkan Sunnah !!!
Padahal
kalaupun itu adalah Jibliyyah, karena paling sedikitnya adalah
Jibiliyyah (sesuatu yang dipakai oleh Rasulullah, namun tidak dianjurkan
pada ummatnya dan bukan Sunnah). Itupun para Ulama mengatakan, "Tidak
boleh diperolok-olokkan". Kenapa? Karena kalau memperolok-olokan berarti
memperolok-olokan apa yang dipakai Rasul. "Hadza adzim, besar sekali di
sisi Allah!!! Ini kekurangan ajarannya Abdul Hakim ini disebabkan
karena dia menafsirkan seenak sendiri dan memahami seenaknya sendiri.
Tafsirnya dengan Qultu, "saya katakan, saya katakan", begitu. "Ya.., di
dalam riwayat ini…ini… dan saya katakan...", seakan-akan dia
kedudukannya seperti para ulama, padahal dari mana dia belajarnya !!?
Ini
yang jadi masalah sehingga banyak yang disaksikan oleh teman-teman yang
perlu diteliti lagi, itu banyak berita-berita tentang Abdul Hakim, yang
dia ngobrol dengan perempuan tanpa hijab sama sekali, pakai celana
panjang, pakai kaos ketat, ketika ditegur, "Saya sedang menasehati",
terus juga dia masih merokok, kemudian juga masih sering musbil, masih
sering pakai pantalon, karena dia mencela gamis dia pakai pantalon,
celana ketat yang sampai disebutkan oleh Syaikh Yahya Al Hajuri di
Yaman. Ketika ditanyakan tentang Abdul Hakim, "Siapa ?" lalu diterangkan
kemudian sampai pada pantalon (celana tipis yang biasa dipakai untuk
acara resmi ala Barat, red). “Hah huwa Mubanthal (pemakai panthalon,
celana panjang biasa yang memperlihatkan pantatnya dan kemaluannya itu)
?. Dijawab, "Iya syaikh". "Allah, yakfi, yakfi, yakfihi annahu
mubanthal." Cukup kamu katakan dengan dia memakai panthalon saja untuk
dikatakan 'Jangan mengaji sama dia”. Sudah cukup bagi saya, apalagi yang
lebih dari itu.
Seorang da'i Seorang yang mengajarkan Sunnah
maka harus dimulai dari dirinya untuk memakai yang tidak membentuk
pahanya dan pantatnya, itu sudah harus. Ini ketika ditanyakan kepada
Syaikh Yahya Al Hajuri, ada catatannya, ada kasetnya. Ini Abdul Hakim
Abdad !!?.
Jadi ikhwana fiddin a'azzakumullah, maka untuk
selebihnya kalian harus mengkaji kitab-kitab bagaimana sikap Ulama
terhadap ahlul bid’ah, karena ini yang paling ditakuti oleh Sururiyyin.
Kalau saja disini ada seratus orang, diantara mereka ada Surury, tapi
kita nggak tahu yang mana lalu antum ajarkan kitab-kitab Manhaj, dia
akan panas, gelisah seperti jin diruqyah, 'imma (bisa jadi) lari, imma
membantah'. Protes, imma dia bingung, atau yang paling baiknya sadar
saat itu - Alhamdulillah kalau begitu-.
Sehingga kajian manhaj
itu sangat penting, atau khususnya. Karena manhaj itu luas sekali, semua
kitab-kitab para Ulama semuanya manhaj. Kitab-kitab yang berbicara
tentang sikap Ahlus Sunnah terhadap ahlul bid’ah. Nanti kita akan
melihat betapa jahatnya tokoh-tokoh yang ditanyakan tadi ini. Jahat,
sangat. Para ulama sedemikian kerasnya terhadap ahlul bid'ah dan begitu
hati-hatinya sampai memperingatkan ummat untuk hati-hati terhadap
mereka, ini malah mengatakan, "Tidak apa-apa, mereka punya kebaikan",
sehingga terlihat 180 derajat antara para ulama dengan sururiyyin ini.
Setelah
kita membaca seperti apakah kitabnya Lamuddurul Mantsur, atau kitab
yang baru saya dapatkan ini Ijma’ dari Para Ulama tentang Tahdzir
terhadap ahlul bid'ah terus kitab…
Bahkan sesungguhnya pada
kitab-kitab para Ulama yang berbicara tentang Manhaj Ahlus Sunnah itu
selalu ada bab khusus tentang Bab Wajibnya Kita untuk Menjauhi Ahlil
Bid'ah. Mesti, hampir setiap kitab As-Sunnahnya Al Barbahari ada
keterangan tentang masalah itu, kemudian Abu Utsman Ashabuni, Aqidatus
Salaf Ashabul Hadits, ada bab itu. Bahwa ciri Ahlus Sunnah adalah benci
terhadap ahlul bid’ah, dan menjauhi ahlil bid'ah dan mentahdzir ahlul
bid’ah.
Dalam Syarhus Sunnah dalam Aqidatus Salaf Ashabul
Hadits, kemudian dalam Syariah Al-Ajurry, kemudian Minhaj Firqatun
Najiyah Ibnu Baththah, itu semua ada. Yang menunjukkan mereka semua
sepakat untuk memperingatkan ummat dari ahlul bid'ah dan mentahdzir
ahlul bid'ah, membenci mereka, menghajr mereka, memboikot mereka dan
tidak bermajlis dengan mereka, itu sepakat. Sehingga apa yang mereka
sebarkan dari prinsip-prinsip ikhwaniyyah dan Sururiyyah ini, adalah
sesuatu yang bertolak belakang dengan Sunnah Rasulullah, dan
bertentangan dengan 180 derajat.
Wallahu Ta'ala A'lam bish Showab.
Subhanaka Allahuma wabihamdika, asyadu anlaa ilaaha illa anta, astaghfiruka, wa atubu ilaik.
Sekali lagi untuk lebih jelasnya dengan kajian kitab tadi.
Pertanyaan :
Bagaimana
tentang subhat mereka yang menyatakan, “Bahwa mereka salafy, kenapa
tidak mau menghadiri daurah di Surabaya yang mendatangkan Syaikh Ali
Hasan?”. Itu syubhat yang sering mereka lontarkan kepada kita.
Jawaban Ustadz Muhammad:
Pernah
ditanyakan tentang kepada Syaikh Yahya Al Hajuri tentang masalah syaikh
Ali Hasan Abdul Hamid yang datang ke Surabaya. Ditanyakan, "Bagaimana
Syaikh, ada suatu majelis yang didatangi Ali Hasan dan sebagainya, dari
Urdun dan yang hadir disana campur, ada Ahlus Sunnah. ada ahlul bid’ah,
ada berbagai macam kelompok, sururi dan sebagainya. Apakah dibenarkan
kami tidak datang ke sana, karena tidak mau ketemu dengan mereka, dengan
ahlil bid'ah ini?
Kata Syaikh: “Ada mereka di sana? Wallahi, saya
berpendapat bahwa bukan saja boleh, tidak perlu kamu duduk disana untuk
hadir di majelis seperti itu. Kamu bisa hadiri majlis-majlis lain dari
para Ulama dan kamu bisa membaca kitab para Ulama, kamu bisa
mendengarkan kasetnya, dengan berbagai macam cara daripada kamu duduk
dengan ahlil bid'ah.” Sampai seperti itu, dan beliau terheran-heran
dengan syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
Wallahu ta’ala a’lam.
Pertanyaan :
Bagaimana dengan Abu Qatadah yang sedang mereka elu-elukan?
Jawaban Ustadz Muhammad:
Abu
Qatadah ini sebuah contoh yang bagus untuk menunjukkan akibat duduk
dengan ahlul bid’ah. Abu Qatadah ini datang dari Yaman, dari Yaman
mereka sudah sama-sama paham, sampai datang ke Indonesia, diajak
kakaknya ketemu Abu Nida dan kemudian di sana ngobrol, kemudian hilang
nggak balik lagi. Abu Qatadah. Jadi mereka merasa bangga punya lulusan
Yaman, lulusan Syaikh ini.
Karena merasa dapat satu orang dari
Yaman, karena yang belajar dari Yaman Salafiyyin semuanya, adapun
Sururiyyin, tidak cocok di Syaikh Muqbil, akhirnya pindah ke tempat Abul
Hasan, seperti Sholeh Su’aidi, akhirnya sekarang. Abul Hasan ditahdzir,
jadi nasib mereka tetap tidak berubah, mereka ingin mendapat stempel
Salafiyyin, namun setelah duduk di Syaikh tidak betah karena dibantai
terus sama teman-teman, kemudian pindahnya ke Abul Hasan. Ternyata
dengan bangga ditulis, akan diisi oleh Sholeh Su’aidi, murid Abul Hasan
Al-Misri, na'am, daurah di Purwokerto. Ana bilang kasihan mereka nggak
tahu, Abul Hasan sudah ditahdzir dengan keras oleh para Ulama, mereka
mengelu-elukan orang yang sudah ditahdzir oleh para Ulama. Abul Hasan
kasar sekali ucapannya terhadap Syaikh Rabi’ dan kurang ajar betul. Dan
para Ulama sudah marah kepada Abul Hasan, bahkan bukan Abul Hasannya,
pembela-pembelanya kena dan ikut jatuh, jatuh bareng, termasuk di
antaranya adalah da’i Yordan. Wallahu a’lam siapa yang dimaksud, karena
yang disebutkan hanya da’i Yordan, Urduniyyin, Yordan setelah ditinggal
Syaikh Albany lemah katanya. Sedang ramai pula di tingkat tinggi para
Ulama, tentang Abul Hasan.
(Ceramah ini ditranskrip oleh ikhwan
Bandung, dari kaset Ustadz Muhammad Umar As Sewed yang direkam saat
beliau ditanya oleh Abu Tsumamah, ikhwan Tangerang di rumah kediaman
beliau, beberapa bulan yang lalu. Transkrip ini sudah dikonfirmasikan
kepada Ustadz Muhammad As-Sewed seusai beliau Khutbah Iedul Adha di
Perumnas Guntur, Cirebon, 10 Dzulhijjah 1424 H. Ustadz Muhammad Umar As
Sewed adalah Pengajar di PonPes Dhiyaus Sunnah Cirebon. Kaset/CDnya ada
di TASJILAT AS-SALAFIYYAH, Jl. Sekelimus VII No.11 Bandung, Telp. (022)
7563451). [Sumber Asli :
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=496])