Sungguh mengejutkan, apa yang terjadi dengan Faishal al
Maidani hadahullah, tatkala asatidzah menyampaikan nasehat, terkhusus
guru kami al Ustadz Muhammad bin Umar bin Ahmad as Seweed hafizhahullah
tapi tidak nampak adanya sikap baik dengan menerima nasehat, yang ada
malah bersikukuh di atas kebatilan dengan pembelaannya terhadap
Muhammad al Imam al Ma’bary yang sudah di Tahdzir Masyaikh Kibar,
pembelaan Faishal al Maidani kembali dia sampaikan pada Muhadharah
beberapa hari yang lalu -Audio ada pada Kami-.
Berikut Tanggapan guru kami al Ustadz Muhammad bin Umar as
Seweed hafizhahullah -terhadap maukif dan Pernyataan Faishal al Maidani
hadahullah-:
Ana pernah sampaikan pada ikhwah bahwa Kesimpulan ana
tentang Faishal Medan sementara ini, khususnya setelah muhadhoronya yang
membela Muhammad Ar Raymi (yang dijuluki al Imam, karena posisinya di
sebagai imam masjid). Maka ana katakan bahwa orang ini (Faishal Medan)
memiliki kesombongan. Yaitu batharul hak wa ghamtunnas – “Menolak
kebenaran dan meremehkan manusia”-
Sebab, dari ucapannya menunjukan dia tahu kebenaran sebagai berikut:
~ Ucapan Muhammad Ar Raimi dalam watsiqah nya adalah kufur wa dhalal.
~Masyayikh kibar telah mentahdzir nya seperti Syaikh Ubaid, Syaikh Rabie’ dan Syaikh Abdullah al Bukhari
~ al jarh almufassar didahulukan diatas pujian dan pembelaan.
~ Bahwa jarhnya para ulama didasari isi watsiqah yang dia juga sudah tahu kufurnya.
~ Dia sudah tau pula al barakah bersama para ulama kibar.
~ Juga sudah mengetahui bahwa menyampaikan tahdzir para ulama dari bahaya penyimpangan juga termasuk ilmu.
~ Dia juga sudah tahu bahwa kesalahan tidak boleh dibela. Khususnya kesalahan shahibil Ma’bar.
~ Dan juga tahu bahwa adanya perbedaan
para ulama bukan berarti kita boleh seenaknya memilih yang cocok. Tapi
lihat mana yg rajih dalil dan ta’lil nya. Itu semua kita dengar dari ucapan di muhadharahnya. Tapi anehnya dia menentang semua kebenaran yang sudah dia ketahui.
* Dia menganggap bahwa Syaikh al Imam sebagai Ahlus sunnah, Salafi yang terpercaya.
* Dia menganggap watsiqah adalah ijtihad.
* Dia menganggap watsiqah adalah sebuah keterpaksaan. Syaikh Al Imam gak mungkin menyimpang.
* Dia menganggap kesalahannya bukan masalah aqidah dan lain-lain -dst-
Bukankah ini semua merupakan penolakan terhadap ucapan dan fatwa para ulama Kibar?!
— “Tapi para ulama masih ikhtilaf”. Bukankah dia tahu ikhtilaf para ulama bukan berarti boleh memilih mana yg cocok dengan hawa?!
— “Tapi kan ada ulama yang membelanya”. Bukankah dia tahu bahwa jarh mufassar muqaddamun ala ta’dil?!
— “Tapi jarhnya kan tidak qadih”. Bukankah dia tahu bahwa dasar jarhnya adalah watsiqah. Yang dia tahu pula kufur dan sesatnya?!
— “Tapi kan dia terpaksa”. Bukankah dia tahu bahwa Itu dibantah oleh al Imam sendiri. Bahwa aku tidak dipaksa oleh siapapun?!
— “Bisa jadi itu adalah ijtihad beliau”. Bukankah dia tahu bahwa tidak ada ijtihad dalam menentang nash?!
— “Sudahlah kalian thullabul ilmi belajar
sajalah”. Lho bukankah dia tahu bahwa menyampaikan peringatan dari
bahaya penyimpangan juga merupakan ilmu?!
Lagipula siapa yang menuntut mereka berbicara?
Kita menuntut dia sebagai dai untuk berbicara menyampaikan
bahaya penyimpangan Al Imam dkk bukan murid muridnya. Karena dia sebagai
dai bertanggungjawab terhadap ummat.
Dipundaknya terdapat kewajiban menyampaikan kebenaran dan memperingatkan dari bahaya penyimpangan.
Itu semua menunjukkan kalau dia batharulhaq, menolak kebenaran yang ia ketahui sendiri.
Adapun ghamtunnas sangat terlihat ketika dari ucapan-ucapan dia seperti:
√ Ketika dinasihati para asatidzah dia berkata: “Kita orang Medan gak bisa diatur oleh orang jawa”
√ Ketika ada seorang ustadz yang mengkritiknya dalam masalah ini dia berkata: biasa gitu lagaknya ustadz-ustadz jawa.
Kalimat-kalimat seperti ini disamping meremehkan manusia,
juga termasuk sifat jahiliyyah. Dengan satu orang dia bertikai dia
salahkan seluruh ustadz-ustadz jawa.
0 komentar:
Posting Komentar
berkata baik, atau diam