Amat mengherankan perkaranya ketika dimunculkan satu pertanyaan
i’tiqodiyah, “Di mana Allah?”, kita mendapatkan jawaban yang
bermacam-macam dan berbeda-beda dari mulut-mulut kaum muslimin.
Ada yang
beranggapan bahwa tidak boleh mempertanyakan di mana Allah, tetapi tak
sedikit pula yang menjawab, “Allah ada di mana-mana”. Lebih ironisnya
ada yang mengatakan, “Allah tidak di atas, tidak juga di bawah, tidak di
sebelah kanan tidak pula di sebelah kiri, tidak di barat tidak di
timur, tidak di selatan tidak juga di utara.”
Para pembaca, sungguh sangat memprihatinkan bila seorang muslim atau
banyak muslim tidak mengetahui masalah pokok dalam agamanya ini, tapi
apa hendak dikata bila memang realita yang ada menunjukkan demikian,
satu fenomena yang cukup mu`sif (menyedihkan) menimpa ummat ini yang
dilatarbelakangi dengan jauhnya dari pendidikan ilmu agama yang benar,
sementara Allah telah berfirman,
“Allah menganugrahkan al hikmah
(kepahaman yang dalam tentang Al Qur`an dan As Sunnah) kepada siapa yang
dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu ia
benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang
yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”
(QS Al Baqoroh: 269).
“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran.”
(QS Az Zumar: 9).
Bagaimana tidak dikatakan hal yang pokok dalam agama, pengetahuan
tentang “di mana Allah?” tatkala ternyata Rosulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjadikannya sebagai dalil akan kebenaran iman seseorang.
Di
dalam Shohih Muslim, dan Sunan Abi Daud, Sunan An Nasa`i, dan lainnya
dari sahabat Mu’awiyah bin Hakam as Sulami, ia berkata:
Aku punya
seorang budak yang biasa menggembalakan kambingku ke arah Uhud dan
sekitarnya, pada suatu hari aku mengontrolnya, tiba-tiba seekor serigala
telah memangsa salah satu darinya -sedang aku ini seorang laki-laki
keturunan Adam yang juga sama merasakan kesedihan- maka akupun amat
menyayangkannya hingga kemudian akupun menamparnya (menampar budaknya,
pent.), lalu aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kuceritakan kejadian itu padanya. Beliau membesarkan hal itu padaku, aku
pun bertanya, “Wahai Rosulullah apakah aku harus memerdekakannya?”
Beliau menjawab, “Panggil dia kemari!” Aku segera memanggilnya, lalu
beliau bertanya padanya, “Di mana Allah?” Dia menjawab, “Di langit.”
“Siapa aku?” tanya Rosul. “Engkau Rosulullah (utusan Allah)” ujarnya.
Kemudian Rosulullah berkata padaku, “Merdekakan dia, sesungguhnya dia
seorang mu`min.”
Di dalam hadits ini terkandung tiga pelajaran yang sangat signifikan.
Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan keimanan sang
budak ketika ia mengetahui bahwa Allah di atas langit.
Kedua:
Disyari’atkannya ucapan seorang muslim yang bertanya “Di mana Allah?”
Ketiga: Disyari’atkannya bagi orang yang ditanya hal itu agar menjawab,
“Di atas langit.”
Sulaiman at Taimi, salah seorang tabi’in mengatakan,
“Bila aku ditanya di mana Allah? Aku pasti akan menjawab di atas
langit.”
Para pembaca, apa jadinya jika ternyata sebagian kaum yang taunya
sebatas “air barokah” dan orang-orang yang spesialisasinya hanya itu
kemudian apriori untuk menolak bahkan lebih dari itu mengkafirkan orang
yang mempertanyakan “Di mana Allah?” Ketahuilah bahwa siapa saja yang
mengingkari permasalahan ini berarti ia telah mengingkari Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, wal ‘iyadzubillah bila kemudian
mengkafirkannya.
Jawaban seorang budak dalam hadits di atas sesuai
dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Apakah kamu merasa aman
terhadap Allah yang di langit, bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi
bersama kamu… Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit
bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu.”
(QS Al Mulk: 16-17).
Tidaklah mengherankan bila kemudian penetapan bahwa Dzat Allah di atas
langit menjadi keyakinan para imam yang empat.
Imam Abu Hanifah -seorang
alim dari negeri Iraq- berkata, “Barangsiapa yang mengingkari Allah
‘azza wa jalla di langit maka ia telah kufur!”
Imam Malik -imam Darul
Hijroh- mengatakan, “Allah di atas langit, sedang ilmuNya
(pengetahuanNya) di setiap tempat, tidak akan luput sesuatu darinya.”
Muhammad bin Idris yang lebih dikenal dengan sebutan Imam asy Syafi’i
berkata, “Berbicara tentang sunnah yang menjadi peganganku dan para ahli
hadits yang saya lihat dan ambil ilmunya seperti Sufyan, Malik, dan
selain keduanya, adalah berikrar bahwa tidak ada ilah (yang berhak untuk
diibadahi secara benar) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu di atas ‘arsy di langit…”
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Apakah Allah di atas langit
yang ke tujuh di atas ‘arsyNya jauh dari makhlukNya, sedangkan
kekuasaanNya dan pengetahuanNya di setiap tempat?” Beliau menjawab, “Ya,
Dia di atas ‘arsyNya tidak akan luput sesuatupun darinya.”
(Lihat kitab
Al ‘Uluw, Imam adz Dzahabi).
Aqidah yang agung ini telah tertanam dalam dada-dada kaum muslimin
periode pertama, para salafus sholih ahlussunnah wal jama’ah.
Berkata
Imam Qutaibah bin Sa’id -wafat pada tahun 240 H-,
“Ini adalah pendapat /
ucapan para imam-imam Islam, sunnah, dan jama’ah, bahwa kita mengenal
Rabb kita di atas langit yang ke tujuh di atas ‘arsyNya.”
Sehingga
semakin jelaslah bahwa Allah di atas langit sebagai ijma ahlissunnah wal
jama’ah yang berlandaskan Kitab, Sunnah, akal, dan fitrah. Allah
berfirman,
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi.” (QS As Sajdah: 5).
“KepadaNyalah naik perkataan yang baik dan amal sholeh yang
dinaikkanNya.” (QS Fathir: 10).
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik
(menghadap) kepada Tuhannya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu
tahun.” (QS Al Ma’arij: 4).
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang
di langit…” (QS Al Mulk: 16-17).
“Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha
Tinggi.” (QS Al A’laa: 1).
Dan ayat-ayat lainnya teramat banyak untuk
disebutkan sampai-sampai sebagian besar kalangan Syafi’i mengatakan,
“Di
dalam Al Qur`an terdapat seribu dalil atau bahkan lebih menunjukkan
bahwa Allah ta’ala tinggi di atas makhlukNya.” (Majmu’ul Fatawa: 5/226).
Di dalam Shohih Bukhori dan Muslim dari sahabat Abu Bakroh radhiyallahu
‘anhu bahwa ketika Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah
di hadapan manusia pada hari Arafah, beliau berkata, “Ya Allah,
saksikanlah” (seraya mengangkat jari telunjuknya ke arah langit). Semua
orang yang berakal akan menetapkan bahwa ketinggian adalah sifat
sempurna sedangkan kebalikannya adalah sifat kekurangan, sementara Allah
‘azza wa jalla tersucikan dari hal-hal yang bersifat kekurangan, ini
semua menunjukkan bahwa Dzat Allah di atas langit adalah suatu
kesempurnaan bagiNya.
Demikian pula secara fitroh, semua kaum muslimin
di belahan dunia apabila berdo’a mengangkat kedua tangannya ke langit,
tidak didapatkan seorang pun dari mereka apabila mengatakan, “Ya Allah,
ampunilah dosaku” mengarahkan kedua tangannya ke tanah
-selama-lamanya!!-
menunjukkan secara fitrah, semua manusia menetapkan
bahwa Dzat Allah di atas langit.
Para pembaca, perjalanan waktu yang cukup lama aqidah Islam ini tak
lagi dikenal dan diketahui mayoritas umat Islam, seakan-akan sirna dari
sumbernya, malah sebaliknya faham-faham Jahmiyah, Asy’ariyah,
Mu’tazilah, dan ahli kalam yang merajalela bak wabah penyakit yang
menular.
Kalangan anak-anak, remaja, dan para orang tua, bahkan sang
ustadz atau kyai dan guru ngaji bila ditanya, “Di mana Allah?” serempak
menjawab, “Allah ada di mana-mana.” Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Sebagian yang dinisbatkan kepada ilmu berdalil atas pernyataannya itu
dengan firman Allah,
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.”
(QS Al Hadid: 4).
Memang menjadi ciri khas ahli bathil adalah “seenaknya
mengambil dalil tetapi buruk ketika berdalil. Ketahuilah bahwa ayat
itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah ada di mana-mana, sebab
bila difahami demikian, maka tentu ketika seseorang berada di masjid
Allah ada di situ, ketika di pasar Allah juga ada di situ, bahkan
tatkala seseorang berada di tempat kotor sekalipun, seperti WC, maka
Allah pun ada di situ! Maha tinggi Allah atas pernyataan-pernyataan ini.
Tetapi maksud dari ayat itu “Dia bersama kamu…” ialah ilmuNya,
pengawasanNya, penjagaanNya bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas arsy
di langit. (Lihat Tafsir Qur`anil Azhim: 4/317).
Imam Sufyan ats Tsaury
-wafat pada tahun 161 H- pernah ditanya tentang ayat ini “Dan Dia
bersama kamu di mana saja kamu berada.”
Beliau menjawab, “yakni
ilmuNya.”
Hanbal bin Ishaq berkata: Abu Abdillah (Imam Ahmad, pent.)
ditanya apa makna “Dan Dia bersama kamu”? Beliau menjawab, “Yakni
ilmuNya, ilmuNya meliputi segala hal sedangkan Rabb kita di atas arsy…”
Imam Nu’aim bin Hammad -wafat pada tahun 228 H- ditanya tentang firman
Allah “Dan Dia bersama kamu” beliau berkata, “Maknanya tidak ada
sesuatupun yang luput darinya, dengan ilmunya.” (lihat Al ‘Uluw, Imam
adz Dzahabi).
Ketika Imam Abu Hanifah mengatakan, “Allah subhanahu wa
ta’ala di langit tidak di bumi”, ada yang bertanya, “Tahukah Anda bahwa
Allah berfirman, ‘Dia (Allah) bersama kamu’?” Beliau menjawab, “Ungkapan
itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang “saya akan selalu
bersama kamu” padahal kamu jauh darinya. (I’tiqodul a`immah al arba’ah).
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- sudah saatnya kita tanamkan
kembali aqidah yang murni warisan Nabi dan para salafus sholih ini di
dalam jiwa-jiwa generasi Islam kini dan mendatang. Sungguh keindahan,
ketentraman mewarnai anak-anak kita dan para orang tua saat kita tanyai
“Di mana Allah?” lalu mereka mengarahkan jari telunjuknya ke atas dan
berucap, “Allah di langit.” Wallahul haadi ila sabilir rosyaad. Wal ilmu
indallah.
(Buletin Dakwah Al Wala’ Wal Bara’)
http://www.darussalaf.or.id/aqidah/dia-di-atas-langit/?fdx_switcher=true
0 komentar:
Posting Komentar
berkata baik, atau diam