[mengingat kembali salah satu prinsip dari sekian prinsip Islam yang kebanyakan kaum muslimin sekarang tidak mengetahuinya]
(ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar as-Sewed)
Kewajiban taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam
yang agung. Namun di tengah karut-marutnya kehidupan politik di
negeri-negeri muslim, prinsip ini menjadi bias dan sering dituding
sebagai bagian dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang sempurna
ini telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap
pemerintahnya, baik yang adil maupun yang zalim.
KKN, represivitas penguasa, kedekatan pemerintah dengan Barat (baca:
kaum kafir), seringkali menjadi isu yang diangkat sekaligus dijadikan
pembenaran untuk melawan pemerintah. Dari yang ‘sekadar’ demonstrasi,
hingga yang berujud pemberontakan fisik.
Meski terkadang isu-isu itu benar, namun sesungguhnya syariat yang mulia
ini telah mengatur bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap kepada
pemerintahnya, sehingga diharapkan tidak timbul kerusakan yang jauh
lebih besar.
Yang menyedihkan, Islam atau jihad justru yang paling laris dijadikan
tameng untuk melegalkan gerakan-gerakan perlawanan ini. Di antara mereka
bahkan ada yang menjadikan tegaknya khilafah Islamiyah sebagai harga
mati dari tujuan dakwahnya. Mereka pun berangan-angan, seandainya
kejayaan Islam di masa khalifah Abu Bakr dan Umar bin al-Khaththab rodhiyallohu'anhum
dapat tegak kembali di masa kini.
Jika diibaratkan, apa yang dilakukan kelompok-kelompok Islam ini seperti
“menunggu hujan yang turun, air di bejana ditumpahkan”. Mereka sangat
berharap akan tegaknya khilafah Umar bin al-Khaththab rodhiyallohu'anhu, namun kewajiban
yang Allah Shubhanahu wataala perintahkan kepada mereka terhadap penguasa yang ada di
hadapan mereka, justru dilupakan. Padahal dengan itu, Allah Shubhanahu wataala akan
mengabulkan harapan mereka dan harapan seluruh kaum muslimin.
Wajibnya Taat kepada Penguasa Muslim
Allah Shubhanahu wataala telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk taat kepada
penguasanya betapa pun jelek dan zalimnya mereka. Tentunya dengan
syarat, selama para penguasa tersebut tidak menampakkan kekafiran yang
nyata. Allah Shubhanahu wataala juga memerintahkan agar kita bersabar menghadapi
kezaliman mereka dan tetap berjalan di atas As-Sunnah.
Karena barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah dan memberontak
kepada penguasanya maka matinya mati jahiliah. Yakni mati dalam keadaan
bermaksiat kepada Allah Shubhanahu wataala seperti keadaan orang-orang jahiliah.1
(Lihat
ucapan al-Imam an-Nawawi t dalam Syarah Shahih Muslim)
Dari Ibnu Abbas c, dia berkata, Rasulullah n bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ
فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barang siapa melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari penguasanya,
maka bersabarlah! Karena barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah
sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliah.” (Sahih,
HR. al-Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Junadah bin Abu Umayyah t, dia berkata,
“Kami masuk ke
rumah Ubadah bin ash-Shamit z ketika beliau dalam keadaan sakit dan
kami berkata kepadanya, ‘Sampaikanlah hadits kepada kami—aslahakallah
(semoga Allah Shubhanahu wataala memperbaiki keadaanmu)—dengan hadits yang kau dengar
dari Rasulullah n yang dengannya Allah Shubhanahu wataala akan memberikan manfaat bagi
kami!’
Maka ia pun berkata,
دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ n فَبَايَعَنَاَ، فَكَاَنَ فِيْمَا أَخَذَ
عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطاَّعَةِ، فِيْ مَنْشَطِنَا
وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ
لاَ نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرَا
بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
“Rasulullah n memanggil kami kemudian membai’at kami. Dan di antara
bai’atnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat
ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun
dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara tidak adil. Dan
hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari orang yang
berhak—beliau berkata—kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata,
yang kalian memiliki bukti di sisi Allah Shubhanahu wataala.”
(HR. al-Bukhari dalam
Shahih-nya juz 13 hlm.192, cet. Maktabatur Riyadh al-Haditsah, Riyadh.
HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/1470, cet. Daru Ihya’ut Turats al-Arabi,
Beirut, cet. 1)
Wajib Taat Walaupun Jahat dan Zalim
Kewajiban taat kepada pemerintah ini, sebagaimana dijelaskan Rasulullah
n, adalah terhadap setiap penguasa, meskipun jahat, zalim, atau
melakukan banyak kejelekan dan kemaksiatan. Kita tetap bersabar
mengharapkan pahala dari Allah l dengan memberikan hak mereka, yaitu
ketaatan walaupun mereka tidak memberikan hak kita.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud z, dia berkata, Rasulullah n bersabda:
إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَأْمُرُنَا؟
“Akan muncul setelahku atsarah (orang-orang yang mengutamakan diri
mereka sendiri dan tidak memberikan hak kepada orang yang berhak, red.)
dan perkara-perkara yang kalian ingkari.” Mereka (para sahabat, red.)
bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah?”
Beliau n berkata,
تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
“Tunaikanlah kewajiban kalian kepada mereka dan mintalah hak kalian
kepada Allah.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Diriwayatkan pula dari ‘Adi bin Hatim z, dia berkata, “Kami mengatakan,
‘Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada
orang-orang yang takwa, tetapi orang yang berbuat begini dan begitu…
(disebutkan kejelekan-kejelekan).’ Maka Rasulullah n bersabda:
وَاتَّقُوا اللهََ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا
‘Bertakwalah kepada Allah! Dengar dan taatlah!’.” (Hasan lighairihi,
diriwayatkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah dan lain-lain. Lihat
al-Wardul Maqthuf, hlm. 32)
Ibnu Taimiyah t berkata, “Bahwasanya termasuk ilmu dan keadilan yang
diperintahkan adalah sabar terhadap kezaliman para penguasa dan
kejahatan mereka, sebagaimana ini merupakan prinsip dari prinsip-prinsip
Ahlus Sunnah wal Jamaah dan sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah n
dalam hadits yang masyhur.” (Majmu’ Fatawa juz 28, hlm. 179, cet.
Maktabah Ibnu Taimiyah Mesir)
Sedangkan menurut al-Imam an-Nawawi t, “Kesimpulannya adalah sabar
terhadap kezaliman penguasa dan bahwasanya tidak gugur ketaatan dengan
kezaliman mereka.”
(Syarah Shahih Muslim, 12/222, cet. Darul Fikr
Beirut)
Ibnu Hajar t berkata, “Wajib berpegang dengan jamaah muslimin dan
penguasa-penguasa mereka walaupun mereka bermaksiat.” (Fathul Bari Bi
Syarhi Shahihil Bukhari)
Tetap Taat Walaupun Cacat
Meskipun penguasa tersebut cacat secara fisik, Rasulullah n tetap
memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan taat. Walaupun hukum asal
dalam memilih pemimpin adalah laki-laki, dari Quraisy, berilmu, tidak
cacat, dan seterusnya. Namun jika seseorang yang tidak memenuhi kriteria
tersebut telah berkuasa—baik dengan pemilihan, kekuatan (kudeta), dan
peperangan—maka ia adalah penguasa yang wajib ditaati dan dilarang
memberontak kepadanya. Kecuali, jika mereka memerintahkan kepada
kemaksiatan dan kesesatan, maka tidak perlu menaatinya (pada perkara
tersebut, red.) dengan tidak melepaskan diri dari jamaah.
Diriwayatkan dari Abu Dzar z bahwa dia berkata:
إِنَّ خَلِيْلِيْ أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَ أَطِيْعَ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ
“Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku agar aku mendengar dan taat
walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya
(cacat).2” (Sahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/467, cet. Daru Ihya’ut
Turats al-Arabi, Beirut. HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, hlm.
54)
Juga diriwayatkan dari Suwaid bin Ghafalah t, dia berkata, “Berkata
kepadaku ‘Umar z, ‘Wahai Abu Umayyah, aku tidak tahu apakah aku akan
bertemu engkau lagi setelah tahun ini… Jika dijadikan amir (pemimpin)
atas kalian seorang hamba dari Habasyah, terpotong hidungnya maka
dengarlah dan taatlah! Jika dia memukulmu, sabarlah! Jika mengharamkan
untukmu hakmu, sabarlah! Jika ingin sesuatu yang mengurangi agamamu,
maka katakanlah aku mendengar dan taat pada darahku bukan pada agamaku,
dan tetaplah kamu jangan memisahkan diri dari jamaah!”
Wallahu a’lam.
1 Maksudnya seperti keadaan matinya orang-orang jahiliah yaitu di
atas kesesatan dan tidak memiliki pemimpin yang ditaati karena mereka
dahulu tidak mengetahui hal itu. (Fathul Bari, 7/13, dinukil dari
Mu’amalatul Hukkam hlm. 166, red.)
2 Kalimat mujadda’ bermakna terpotong anggota badannya atau cacat,
seperti terpotong telinga, hidung, tangan, atau kakinya. Namun sering
kalimat mujadda’ dipakai dengan maksud terpotong hidungnya. Sedangkan
mujadda’ul athraf, Ibnu Atsir t dalam an-Nihayah berkata, “Maknanya
adalah terpotong-potong anggota badannya, ditasydidkan huruf ‘dal’-nya
untuk menunjukkan banyak.” (pen.)
sumber: www.asysyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar
berkata baik, atau diam