بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh : Luqman bin Muhamad Ba’abduh
Bagian ke-4 : Benarkah saudara Firanda mencela asy-Syaikh Rabi’ dan menjatuhkan kredibilitas beliau?
Pada bagian ke-empat ini saya
akan mencoba membantu para pembaca untuk mengetahui beberapa kata-kata
saudara Firanda yang mengandung celaan kepada asy-Syaikh al-’Allamah
Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah.
Pembahasan ini sengaja saya
tampilkan, karena ada sebagian pembaca yang sulit atau belum bisa
mengetahui dan memahami bentuk-bentuk celaan atau upaya saudara Firanda
menjatuhkan kredibilitas asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah.
Sudah saya sebutkan pada
pembahasan sebelumnya bahwa upaya menjatuhkan kredibilitas ‘ulama yang
dilakukan oleh Ahlul Batil ada dua bentuk:
1. Terkadang dengan kasar dan arogan.
Bentuk pertama ini sering dilakukan oleh Ahlul Bid’ah yang jelas-jelas
menampakkan dirinya sebagai Ahlul Bid’ah dan permusuhannya terhadap
Ahlus Sunnah, seperti kaum Syi’ah, Shufi, Mu’tazilah, Khawarij, dll.
Mereka tidak segan-segan menggunakan caci makian, seperti : “ulama
penjilat”, “ulama penguasa”, “penipu umat”, “budak-budak penguasa”,
“ulama haidh dan nifas”, “ulama bodoh, picik … dst.
Jenis pertama ini lebih mudah dipahami oleh umat bahwa itu adalah penghinaan dan celaan.
2. Namun tak jarang pula yang dilakukan
dengan cara yang sangat halus dan penuh tipu daya dengan menggunakan
kata-kata yang bercabang. Cara kedua ini lebih sering dilakukan oleh
Ahlul Bid’ah atau Hizbiyyah yang berbaju salafi, mengajarkan buku-buku
‘ulama salaf, atau terkadang menukil fatwa-fatwa ‘ulama salaf, dst.
Jenis kedua ini lebih berbahaya terhadap umat atau Ahlus Sunnah secara khusus dibandingkan jenis yang pertama.
Jika hal ini sudah dipahami,
ketahuilah bahwa cara yang digunakan oleh saudara Firanda adalah jenis
kedua.
Untuk itu mari kita ikuti dengan seksama penjelasan berikut ini,
Saudara Firanda berkata dalam salah satu sub judul yang ia letakkan, “Manhaj Syaikh Rabî’ Al-Madkhalî Yang Mutasyaddid (keras)”
Firanda juga mengatakan, “… hal inilah yang mengkarateristiki manhaj beliau sehingga menjadi “Mutasyaddid“!!!” [1] (tulisan Firanda bag. Ke-4. Cetak tebal dan garis bawah dari saya)
Saudara Firanda mendasari kesimpulannya bahwa manhaj asy-Syaikh Rabi’ mutasyaddid
berdasarkan transkrip rekaman dialog asy-Syaikh al-Albani dengan
seorang penanya yang ia nukil dari situsnya pengikut Ali Hasan
al-Halabi. [2]
Mari kita perhatikan dengan seksama kata-kata saudara Firanda di atas:
“Manhaj Syaikh Rabî’ Al-Madkhalî Yang Mutasyaddid (keras).”
Kalimat ini, yaitu kalimat “manhaj Syaikh Rabi’ “,
bukanlah datang dari asy-Syaikh al-Albani. Beliau sama sekali tidak
menyinggung “manhaj asy-Syaikh Rabi’.” Kesimpulan ini dipertegas oleh
saudara Firanda dengan mengatakan, “… hal inilah yang mengkarateristiki manhaj beliau sehingga menjadi “Mutasyaddid“!!!”
Apabila kita cermati dialog
yang dinukil secara sepotong oleh saudara Firanda pada tulisannya bagian
ke-4, tampak asy-Syaikh al-Albani sendiri hanya menilai uslub (cara) asy-Syaikh Rabi‘, bukan manhajnya. Sehingga harus dibedakan antara uslub dengan
manhaj. Semestinya saudara Firanda dapat memahami masalah ini. Namun,
entah apa yang mendorongnya sehingga dia memberikan kesimpulan seperti
di atas, dengan menggunakan kata-kata yang bercabang maknanya.
Tentunya jika saudara Firanda
mau membaca transkrip pernyataan asy-Syaikh al-Albani itu dengan tenang
dan tidak terburu-buru, disertai dengan kemauannya untuk mengetahui
kedudukan asy-Syaikh Rabi’ al-Madkhali dan kelurusan manhajnya yang
telah didukung oleh para ‘ulama kibar dan para imam dakwah salafiyah
zaman ini sebagaimana telah lalu, Insya Allah dia tidak akan
memberikan kesimpulan seperti di atas, atau menggunakan metode kritik
terhadap asy-Syaikh Rabi’ seperti yang ia gunakan.
Maka apa yang dilakukan oleh saudara Firanda, menggunakan pernyataan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah sebagai dalil untuk menguatkan pendapatnya
tidak tepat, karena kesimpulan hukum yang ia ambil lebih luas atau
umum dari dalil yang ia gunakan. Tentu ini adalah suatu hal yang telah
keluar dari jalur ilmiah.
Perhatikan ucapan-ucapan
asy-Syaikh al-Albani dalam dialog yang belum ditampilkan atau dipotong
secara sengaja oleh saudara Firanda,
فكُتبه -كما بيَّن الدكتور-جزاه الله خيرًا- مشحونة بالأخطاء العلمية -منها العقديَّة، ومنها الفقهية-.
“Maka kitab-kitab dia (Sayyid Quthb) – sebagaimana telah dijelaskan oleh Doktor (asy-Syaikh Rabi’) semoga Allah membalasnya dengan kebaikan – sangat dipenuhi oleh berbagai kesalahan ilmiah, di antaranya kesalahan dalam bidang aqidah dan dalam bidang fiqh.”
Perhatikan komentar asy-Syaikh
al-Albani di atas. Dengan penuh tawadhu’ beliau menyimpulkan bahwa
karya-karya Sayyid Quthb dipenuhi dengan berbagai kesalahan, baik dalam
bidang aqidah maupun fiqh, dengan merujuk kepada penjelasan-penjelasan
asy-Syaikh Rabi’ dalam karya-karya beliau, diiringi dengan doa kebaikan
sebagai bentuk syukur dan dukungan.
Yang seperti ini tidak
dilakukan oleh saudara Firanda dalam kritiknya terhadap asy-Syaikh
Rabi’. Kami tidak mendapati saudara Firanda menyebutkan keilmiahan
karya-karya asy-Syaikh Rabi’ dalam membantah ahlul bid’ah, baik
sururiyah, quthbiyyah, atau yang lainnya. Tidak pula kami mendapati
kalimat syukur dan dukungan terhadap karya dan perjuangan beliau
tersebut.
Kemudian dalam dialog yang
sama, – sekali lagi yang tidak dinukil dan dipotong dengan sengaja oleh
saudara Firanda – kembali asy-Syaikh al-Albani berkata,
ولذلك الواقع نحن مسرورون جدًّا
بنشاط أخينا الدكتور العلمي؛ لكننا ننصحُه أن يستعمل الرفقَ مع هؤلاء الناس
الذين انحرفوا عن دعوة الحق بدعوة رجل لا علمَ عنده.
“Dan karena kenyataan itulah
kami sangat bergembira dengan upaya (karya) ilmiah saudara kami Doktor
(asy-Syaikh Rabi’). Namun kami menasehati beliau untuk menggunakan
kelembutan dalam menghadapi mereka yang menyimpang dari dakwah yang
benar, dengan sebab dakwah seorang (Sayyid Quthb) yang tidak ilmu
padanya.”
Kembali dengan penuh tawadhu’
dan penghormatan, asy-Syaikh al-Albani memposisikan karya-karya
asy-Syaikh Rabi’ sebagai karya yang membuat beliau gembira, bahkan
beliau nilai sebagai karya yang ilmiah.
Ucapan seperti ini, – sekali lagi – kami tidak mendapatinya dalam tulisan saudara Firanda.
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah juga mengatakan,
ونحن قلنا للدكتور: السيد قطب ليس
بعالِم، بل ربما لا يُحشر في طلبة العلم ككثير من الكُتاب -وبخاصة
المصريين- يعني يكتبون ويظنُّون أنهم ممن يُحسنون صنعًا. هذا رأيي.
“Dan aku berkata kepada Doktor
(asy-Syaikh Rabi’), bahwa as-Sayyid Quthb bukanlah seorang ‘ulama,
bahkan mungkin tidak digolongkan dalam deretan para penuntut ilmu,
sebagaimana kebanyakan para penulis – terkhusus yang berasal dari Mesir –
yakni mereka menulis dan menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang
berbuat baik. Ini pandangan (pendapat)ku.“
Kata-kata beliau yang kami
cetak tebal ini, di samping menunjukkan ketawadhu’annya, juga
menciptakan kesan positif bagi pendengar atau pembacanya terhadap
asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah. Tidak seperti tulisan saudara
Firanda yang sangat menggebu-gebu dengan gayanya yang khas dalam
menjatuhkan kredibilitas asy-Syaikh Rabi’.
Pada penghujung perkataannya – yang juga dengan sengaja tidak dinukil oleh saudara Firanda – beliau mengatakan,
… فأنا أريد والله مخلصًا لصديقنا -ولا أقول لتلميذنا قديمًا- أن يظل مستمرًا في علمه وجهاده؛ ولكن أن يُلين قولَه مع خصومه، وبس
“Maka aku menginginkan – demi
Allah – dengan ikhlash untuk temanku (asy-Syaikh Rabi’) – aku tidak
berkata bahwa beliau adalah murid kami sejak dahulu – agar beliau
(asy-Syaikh Rabi’) terus melanjutkan dalam keilmuan dan perjuangan beliau. Namun hendaknya beliau melembutkan perkataannya terhadap para musuhnya. Itu saja.”
Perhatikan baik-baik,
asy-Syaikh al-Albani dengan penuh tawadhu’ memposisikan asy-Syaikh Rabi’
sebagai kawan beliau, bukan sekadar sebagai murid. Bahkan asy-Syaikh
al-Albani memberikan dukungan terhadap karya-karya dan perjuangan
asy-Syaikh Rabi’ dalam membantah ahlul bid’ah dan hizbiyyah. Tidak cukup
sampai di situ, beliau pun berharap asy-Syaikh Rabi’ melanjutkan kiprah
dan perjuangannya dalam hal itu. Dan pada kalimat “Itu saja”, ada penegasan bahwa nasehat beliau untuk asy-Syaikh Rabi’ hanya terbatas pada uslub (cara), bukan pada manhajnya.
Tentu yang terakhir ini, lebih tidak kami dapati pada tulisan saudara Firanda.
Jika saudara Firanda mencoba berkilah bahwa yang ia maksudkan dengan kalimat “manhaj” adalah bermakna “uslub (cara)”,
maka tentu hal ini tidak benar dalam konteks pembicaraan seperti ini.
Karena dapat dipahami oleh pembaca bahwa yang tidak benar adalah manhaj
asy-Syaikh Rabi’, bukan pada uslub (cara) beliau dalam membantah.
Perhatikan, asy-Syaikh al-Albani sama sekali tidak menggunakan kalimat
“manhaj” dalam konteks tersebut. Semestinya saudara Firanda mencukupkan
dengan kata-kata yang dipakai oleh asy-Syaikh al-Albani, tidak
menggunakan kata-kata baru yang datang dari dirinya sendiri.
Untuk membuktikan hal di atas, ikuti baik-baik ucapan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kaset al-Muwazanat Bid’atun ‘Ashriyyah (manhaj al-Muwazanah adalah bid’ah masa kini) – yang sebagian ucapan beliau ini telah kami nukil pada tulisan bagian pertama –
(( وباختصار أقول: إن حامل
راية الجرح والتعديل اليوم في العصر الحاضر وبحق هو أخونا الدكتور ربيع،
والذين يردون عليه لا يردون عليه بعلم أبداً، والعلم معه، وإن كنت أقول
دائماً وقلت هذا الكلام له هاتفياً أكثر من مرة أنه لو يتلطف في أسلوبه
يكون أنفع للجمهور من الناس سواء كانوا معه أو عليه، أما من حيث العلم فليس هناك مجال لنقد الرجل إطلاقاً، إلا ما أشرت إليه آنفاً من شئ من الشدة في الأسلوب، أما أنه لا يوازن فهذا كلام هزيل جداً لا يقوله إلا أحد رجلين: إما رجل جاهل فينبغي أن يتعلم، وإلا رجل مغرض، وهذا لا سبيل لنا عليه إلا أن ندعو الله له أن يهديه سواء الصراط )).
“dan secara ringkas aku mengatakan, sesungguhnya pembawa bendera (panji) al-Jarh wa at-Ta’dil
pada hari ini dalam zaman ini dan dengan sebenar-benarnya adalah
saudara kami DR. Rabi’. Sementara orang-orang yang membantahnya,
tidaklah mereka membantahnya di atas bimbingan ilmu sama sekali, dan
ilmu (kebenaran) bersama beliau (asy-Syaikh Rabi’).[3]
Meskipun aku selalu mengatakan, dan aku sampaikan ucapan ini kepada
beliau via telpon lebih dari sekali, bahwa kalau seandainya beliau
berlembut kata dalam uslub (cara)nya maka akan lebih bermanfaat bagi mayoritas orang, baik yang bersamanya atau yang menentangnya. Sementara kalau
dari sisi keilmuan (bantahan beliau terhadap ahlul bid’ah) maka tidak
ada peluang secara mutlak untuk mengkritik beliau (asy-Syaikh Rabi’), kecuali apa yang baru saja aku isyaratkan, yaitu adanya sedikit sikap keras dalam uslub (cara).
Sedangkan (untuk dikatakan) bahwa beliau tidak diperhitungkan maka ini
adalah pernyataan yang sangat lemah. Tidaklah yang mengucapkannya
kecuali salah satu dari dua jenis manusia, bisa jadi dia itu orang jahil (bodoh) maka hendaknya dia belajar, atau seorang yang punya kepentingan tertentu (pengikut hawa nafsu) maka
orang seperti ini tidak ada jalan bagi kita atasnya kecuali kita
mendoakan untuknya agar Allah memberikan hidayah kepadanya jalan yang
lurus.”
Dalam kesempatan lain, asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “ … atau semoga Allah turunkan padanya musibah/bala’.”
Perhatikan baik-baik kalimat asy-Syaikh al-Albani rahimahullah di atas,
- Nampak sekali beliau hanya menyoroti uslub (cara), bukan manhaj.
- Setiap orang yang membacanya, insya Allah tidak
akan memiliki kesimpulan negatif tentang manhaj asy-Syaikh Rabi’ dan
berbagai karyanya dalam membantah ahlul bid’ah, kecuali orang yang
memang di qalbunya ada penyakit kebencian kepada asy-Syaikh Rabi’
sebagai ‘Ulama Sunnah.
- Nampak sekali asy-Syaikh al-Albani mengiringi nasehatnya dengan pujian dan dukungan untuk asy-Syaikh Rabi’.
Pada tiga poin di atas,
semuanya sama sekali tidak didapati pada tulisan saudara Firanda yang
dengan gayanya yang khas menjatuhkan kredibilitas asy-Syaikh Rabi’.
Sehingga pantas tidak sedikit dari penggemarnya yang berpandangan
negatif terhadap asy-Syaikh Rabi’.
Pertanyaan penting: Kenapa pernyataan asy-Syaikh al-Albani dalam kaset al-Muwazanat Bid’atun ‘Ashriyyah di atas, yang di dalamnya sangat jelas bahwa beliau hanya menilai uslub
(cara), bukan manhaj, tidak dinukil oleh saudara Firanda. Atau
sebelumnya, kenapa tidak dinukil oleh Halabiyyun di Forum Diskusinya?
Ada beberapa kemungkinan,
- Al-Halabiyyun (pengikut manhaj Ali al-Halabi), termasuk saudara Firanda di dalamnya, tidak mengetahui keberadaan pernyataan asy-Syaikh al-Albani dalam kaset al-Muwazanat Bid’atun ‘Ashriyyah tersebut. Tentu hal ini merupakan suatu catatan yang menunjukkan adanya sikap terburu-buru pada mereka. Yang semestinya mereka adalah orang yang lebih dahulu tahu tentang keberadaan kaset tersebut, dan semestinya mereka lebih tenang dan tidak terburu-buru dalam mengumpulkan data, lebih-lebih ketika pembicaraan itu terkait dengan seorang ‘ulama besar yang sangat dibenci oleh ahlul bid’ah dan hizbiyyah.
- Atau mereka sudah mengetahuinya, namun karena sebuah kepentingan terpaksa tidak menukilnya. Apa kepentingan tersebut? Insya Allah para pembaca sudah mulai dapat menilai.
Kesimpulan: Perbedaan cara “kritikan” asy-Syaikh al-Albani rahimahullah, dengan cara kritikan saudara Firanda terhadap asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah.
- Kritikan asy-Syaikh al-Albani dipenuhi dengan kata-kata yang santun dan penuh rasa hormat.
- Kritikan asy-Syaikh al-Albani disertai dengan pujian terhadap beliau dan dukungan terhadap karya-karyanya dalam membantah ahlul bid’ah.
- Asy-Syaikh menyampaikan kritikannya dengan penuh tawadhu’, dan bukan sebagai kesimpulan paten yang harus diterima.
- Setiap orang yang menginginkan kebaikan ketika membaca pernyataan asy-Syaikh al-Albani tentang asy-Syaikh Rabi’ – termasuk dalam dialog yang dinukil secara sepotong oleh saudara Firanda tersebut – pasti ia masih menilai positif terhadap asy-Syaikh Rabi’ sebagai seorang ‘ulama rujukan umat, terkhusus dalam karya-karya dan fatwa-fatwanya yang berisi bantahan terhadap ahlul bid’ah. Apalagi kalau membaca pernyataan beliau dalam kaset al-Muwazanat Bid’atun ‘Ashriyyah yang tidak dinukil oleh saudara Firanda dan Halabiyyun lainnya.
- Asy-Syaikh al-Albani hanya berbicara tentang uslub, namun saudara Firanda memperluasnya hingga permasalahan manhaj.
Kemudian saudara Firanda mengatakan, “Beliau dikritisi oleh para ulama dalam beberapa hal … “
Ada sebuah catatan dalam ucapan ini, yaitu :
Kalimat “beberapa hal”,
ini sangat global – apakah yang dikritisi itu masalah aqidah dan
manhaj, ataukah yang lainnya – Tolong dijelaskan agar jangan sampai
pembaca menyimpulkan dengan kesimpulan masing-masing.
Sekaligus kalimat tersebut
menunjukkan bahwa beliau dikritisi pada lebih dari satu permasalahan.
Tolong sebutkan pula “beberapa hal” yang dimaksud. Tentunya, harapan
saya juga adalah kritikan yang sesuai dengan porsinya, yang disertai
dengan bukti-bukti ilmiah. Bukan dengan cara dan kesimpulan-kesimpulan
saudara Firanda atau al-Halabiyyun.
Berikut ini beberapa cara saudara Firanda lainnya dalam mengkritisi asy-Syaikh Rabi’ al-Madkhali hafizhahullah, yang Insya Allah para pembaca sudah mulai dapat menilainya
1. “Ternyata Syaikh Rabî’ juga menyelisihi manhaj para ulama Kibâr ahlus sunnah abad ini.”
Benarkah demikian? Lihat jawabannya pada bagian pertama tulisan ini.
2. “Syaikh Rabî’ mengesankan bahwa para salaf tatkala menghajr maka mereka menghajr secara mutlak tanpa memperhitungkan kemaslahatan. Namun apakah benar para salaf demikian??”
Kalimat “mengesankan”
dalam konteks di atas mengandung konotasi yang sangat negatif, yang
dapat dipahami oleh para pembaca seolah-olah asy-Syaikh Rabi’ melakukan
tipu daya terhadap umat ini. Sehingga beliau “mengesankan” sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi.
3. “Pernyataan Syaikh Rabî’ bahwa para salaf tidak memandang kemaslahatan dalam praktek hajr merupakan kedustaan terhadap salaf. Sehingga tergambarkan para salaf adalah serampangan dan tidak pandang sikon tatkala menghajr.” (cetak tebal asli dari Firanda)
Perhatikan kalimat “kedustaan terhadap salaf”, yang Insya Allah seorang
yang memiliki pemahaman lurus dia akan memahami bahwa ini adalah suatu
celaan atau upaya menjatuhkan kredibilitas asy-Syaikh Rabi’. Kalimat
seperti ini, dan yang sebelumnya, belum pernah kami mendengarnya dari
para ‘ulama yang berilmu dan lurus manhajnya. Kami hanya mendengar dan
membaca ucapan-ucapan seperti itu muncul dari ahlul bid’ah dan hizbiyyah
yang membenci beliau.
4. “Ini sungguh pernyataan yang sangat berani dari Asy-Syaikh Robi’. Dengan beraninya dia menghukum bahwa yang mendengar radiorodja tidak menghormati manhajnya, dan tidak menghormati aqidahnya !!!. “
Perhatikan kalimat “sangat berani” dan “dengan beraninya dia”,
sungguh dua kalimat yang tidak menunjukkan kesantunan pengucapnya,
terkhusus terhadap salah seorang ‘ulama kibar di masa ini yang telah
dipuji dan didukung oleh para imam dakwah Salafiyyah, dan telah
menginfakkan banyak waktunya untuk membela sunnah dan membantah ahlul
bid’ah.
Perhatikan pula kalimat “dia”. Dalam ‘urf (kebiasaan)
orang Indonesia ada kalimat yang lebih pantas dan lebih sopan,
terkhusus apabila ditujukan kepada seorang yang berilmu atau yang
dihormati, yaitu kalimat “beliau”. Tidak bisakah saudara Firanda
menggunakannya?
5. “Fatwa yang membingungkan akan tetapi dianggap sebagai kabar gembira oleh para pengikut Syaikh Robii’.”
6. “Yang cukup aneh adalah Asy-Syaikh Robi’ Al-Madkholi bersikeras untuk menyesatkan dan membid’ahkan radiorodja, padahal telah disampaikan bahwa para pemateri radiorodja juga menjelaskan tentang aqidah salaf.”
7. “Syaikh Robi’ menjadikan dalil untuk mentabdi’ hanya karena satu kesalahan dengan sikap para ulama terhadap Ya’qub bin Syaibah. Sehingga hal ini dijadikan kaidah untuk menghantam dan membid’ahkan Radiorodja !!!.”
8. “Begitu kerasanya Asy-Syaikh Robi’ sehingga beliau tidak rido jika Al-Ustadz Yazid dikatakan sebagai salafy goncang !!!. Padahal “salafy goncang” itu sudah merupakan celaan yang keras, ternyata itupun tidak diridoi oleh Asy-Syaikh Robi??. Lantas vonis terhadap ustadz Yazid apakah yang diridoi oleh Asy-Syaikh al-’Allaamah Imam al-Jarh wa At-Ta’dil Robi’ al-Madkholi??”
Perhatikan kalimat terakhir.
Walaupun itu adalah predikat yang sangat tepat untuk asy-Syaikh Rabi’ –
sebagaimana yang telah kami paparkan pada bagian pertama – namun dalam
konteks ucapan saudara Firanda di atas, benar-benar itu mengandung
sebuah ejekan terhadap beliau. Kalau saudara Firanda tidak setuju dengan
kesimpulan saya ini, silakan ditanyakan kepada ‘ulama mu’tabar tentang
makna ucapan tersebut dalam konteks seperti di atas, apakah mengandung celaan/ejekan ataukah tidak, dan saya tunggu jawabannya.
9. “Yang saya kawatirkan adalah sebaliknya justru Asy-Syaikh yang telah tertipu, antara lain oleh pengikutnya !!”
10. “Yang lebih junior (Syaikh Robi’) harusnya ngalah kepada yang lebih kibar (Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad dan Syaikh Sholeh Al-Fauzaan)??”
Terlepas bahwa ucapan di atas
mengandung celaan terselubung kepada asy-Syaikh Rabi’, perlu ditanyakan
kepada saudara Firanda apa maksud perkataan “lebih junior” dan “lebih
kibar”?
Jika yang dimaksud dalam hal
umur, maka asy-Syaikh Rabi’ (lahir 1351 H) lebih berumur dibandingkan
asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin al-’Abbad (lahir 1353 H). Lebih-lebih jika
dibandingkan dengan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan (1354 H). dengan segala
hormat kami untuk kedua syaikh tersebut, yang merupakan bagian dari
masyaikh kibar Ahlus Sunnah di masa ini.
Jika yang dimaksud dalam hal keilmuan, maka siapakah dari ‘ulama kibar yang menilai seperti cara penilaian saudara Firanda??
11. “Diantara para masyayikh yang mereka ambil manhajnya dalam hal ini –bahkan seakan-akan seperti wahyu yang turun dari langit- adalah Syaikh Rabî’ bin Hâdî Al-Madkhalî –semoga Allah meluruskan langkah beliau dan mengembalikan beliau kepada kebenaran-.”
12. “Manhaj ketiga imam tersebut telah diwarisi oleh murid-murid senior mereka yang tersebar di Kerajaan Arab Saudi, dan hingga saat ini saya belum menemukan murid-murid senior mereka yang bermanhaj seperti manhaj Syaikh Rabî’.” (terkhusus celaan Firanda no.12 ini, akan ada penjelasannya pada bagian mendatang Insya Allah)
(cetak tebal pada penukilan-penukilan di atas dari saya, kecuali no. 3)
(bersambung insya allah)
al-Faqir ila ‘afwi wa ‘auni rabbihi
Luqman Muhammad Ba’abduh
Jember, 17 Dzulhijjah 1434 H / 22 Oktober 2013 M
0 komentar:
Posting Komentar
berkata baik, atau diam