Penulis : Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Di samping golongan para pengingkar sunnah yang menolak hadits-hadits
shahih dengan akal dan hawa nafsunya, ada pula golongan yang “sok
tahu”. Mereka berbicara sesuatu tanpa ilmu. Di antara mereka ada yang
mengatakan bahwa Dajjal itu akan keluar dari segitiga bermuda, Dajjal
adalah Amerika karena memandang dengan sebelah mata yaitu mata dunia,
Ya’juj wa ma’juj adalah pasukan mongol dan lain-lain.
Maka pada kesempatan kali ini akan kami bawakan beberapa dalil dan
ucapan para shahabat dan ulama yang membimbing kita untuk bejalar
mengatakan “tidak tahu” terhadap hal-hal yang memang tidak diketahui,
apalagi pada perkara-perkara ghaib yang tidak ada perincian dan
penjelasannya dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Allah Subhanahu Wara’ala berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً. (الإسراء: 36)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan ten-tangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan-jawabannya. (al-Israa’: 36)
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wata’ala mengajarkan kepada kita
agar tidak berbicara tentang sesuatu, kecuali dengan ilmu. Apalagi jika
masalah itu berkaitan dengan perkara-perkara ghaib, apakah yang
berkaitan dengan dzat Allah, perbuatan Allah, nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, atau pun perkara-perkara yang belum terjadi dan akan
datang seperti tanda-tanda hari kiamat, hari kebangkitan, hisab, surga
dan neraka atau pun yang selainnya.
Dalam masalah-masalah tersebut, kita tidak mungkin bisa mengetahuinya
dengan panca indera atau akal kita. Kita hanya mengetahui sebatas apa
yang diberitakan dalam al-Qur’an dan hadits yang shahih sesai dengan apa
yang dipahami oleh para shahabat Radhiallahu ‘anhum
Mu’adz bin Jabbal Radhiallahu ‘anhu ketika ditanya oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasalam tentang sesuatu yang tidak diketahui, maka
beliau menjawab allahu wa rasuluhu a’lam. Disebutkan dalam satu hadits
yang diriwayat-kan dari Mu’adz bin Jabbal Radhiallahu ‘anhu Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam berkata kepada Mu’adz:
يَا مُعَاذُ أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ؟
Ya Mu’adz tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya?
Mu’adz Radhiallahu ‘anhu menjawab:
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.
Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ وَلاَ يُشْرَكَ بِهِ شَيْئًا.
Hak Allah atas hamba-Nya adalah agar mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukannya dengan sesuatu apa pun.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bertanya lagi:
أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ عَلَيْهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ؟
Tahukah engkau apa hak mereka jika telah menunaikannya?
Mu’adz menjawab:
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.
Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini menunjukkan adab seorang shahabat ketika ditanya dengan sesuatu
yang tidak dia ketahui, mereka mengatakan: “Allah dan Rasul-Nya yang
lebih tahu”1).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam sendiri pun diajarkan oleh Allah
Subhanahu Wata’ala untuk menjawab “allahu ‘alam” ketika ditanya tentang
ruh, karena itu adalah urusan Allah.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً. (الإسراء: 85)
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Roh itu
termasuk urus-an Rabb-ku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan
melainkan sedikit”. (al-Isra’: 85)
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tidak malu untuk
mengatakan “tidak tahu” pada perkara-perkara yang memang Allah tidak
turunkan ilmu kepadanya. Atau beliau menunda jawabannya hingga turun
jawaban dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Hikmah dari jawaban-jawaban beliau Shalallahu ‘alaihi wasalam ini
adalah: kaum Yahudi dan Musyrikin mengetahui betul bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasalam tidak mengucapkan dari hawa nafsunya,
melainkan wahyu Allah yang diturunkan kepadanya. Jika ada keterangan
wahyu dari Allah beliau jawab, dan jika tidak, maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasalam menundanya.
Imam asy-Sya’bi Rahimahullah pernah ditanya tentang satu masalah,
beliau menjawab: “Saya tidak tahu”. Maka si penanya heran dan berkata:
“Apakah engkau tidak malu mengatakan ‘tidak tahu’, padahal engkau adalah
ahlul fiqh negeri Iraq?” Beliau menjawab: “Tidak, karena para malaikat
sekalipun tidak malu mengatakan ‘tidak tahu’ ketika Allah tanya:
أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ. (البقرة: 31)
“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar!”. (al-Baqarah: 31)
Maka para malaikat menjawab:
قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ. (البقرة: 32)
Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada ilmu bagi kami selain
dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (al-Baqarah: 32)
(Lihat ucapan asy-Sya’bi dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadllihi (2/51)
melalui Hilyatul ‘Alimi al-Mu’alim karya Salim bin ‘Ied al-Hilali).
Dakwah ini adalah menyampaikan apa yang Allah turunkan dan apa yang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam jelaskan. Bukan buatan sendiri,
berpikir sendiri, atau memberat-beratkan diri dengan sesuatu yang tidak
ada ilmu padanya.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُتَكَلِّفِينَ (86) إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ (87)
وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ. (ص: 86-88)
Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada
kalian atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang
mengada-adakan (memaksakan diri).” Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah
peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kalian akan mengetahui
(kebenaran) berita al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi. (Shaad: 86-88
Karena ayat inilah Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu marah ketika ada
seseorang yang berbicara tentang tanda-tanda hari kiamat dengan tanpa
ilmu. Beliau Radhiallahu ‘anhu berkata:
مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمُ فَلْيَقُلْ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ
عِلْمُ فَلْيُقُلْ: اللهُ أَعْلَمُ، فَإِنَّ اللهَ قَالَ لِنَبِيِّهِ
عَلَيْهِ وَسَلاَّمَ: ((قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا
أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ)).
“Barangsiapa yang memiliki ilmu maka katakanlah! Dan barangsiapa yang
tidak memiliki ilmu maka katakanlah: ‘Allahu a’lam!” Karena
sesungguhnya Allah telah mengatakan kepada nabi-Nya: ((“Kata-kanlah (hai
Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku;
dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan (me-maksakan
diri”))”.
(Atsar riwayat ad-Darimi juz 1/62; Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayaanil
Ilmi, juz 2/51; Baihaqi dalam al-Madkhal no. 797; al-Khathib al-Baghdadi
dalam al-Faqiih wal Mutafaqih; melalui nukilan Hilyatul Alimi
al-Mu’allim, hal. 59)
Demikian pula Abu Bakar Shiddiq radhiallahu ‘anhu ketika ditanya
tentang tafsir suatu ayat yang tidak beliau ketahui, beliau menjawab:
“Bumi mana yang akan aku pijak, langit mana yang akan menaungiku, mau
lari ke mana aku atau apa yang akan aku perbuat kalau aku mengatakan
tentang ayat Allah tidak sesuai dengan apa yang Allah kehendaki”. (Atsar
riwayat Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi, juz 2/52; Bai-haqi
dalam al-Madkhal, no. 792. Lihat Hilyatul ‘Alimi al-Mu’allim, hal. 60)
Diriwayatkan ucapan yang semakna dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu
‘anhu dan juga dinukilkan dari para shahabat oleh para ulama setelahnya
seperti Maimun bin Mihran, Amir asy-Sya’ bi, Ibnu Abi Mali-kah dan
lain-lain. (Lihat sumber yang sa-ma hal. 60)
Pernah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ditanya tentang satu
masalah, kemudian beliau menjawab: “Aku tidak mempunyai ilmu
tentangnya”, (padahal pada saat itu beliau sebagai khalifah –pent.).
Beliau berkata setelah itu: “Duhai dinginnya hatiku (3x)”. Maka para
penanya berkata kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin, apa maksudmu?” Ali
bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menjawab: “Yakni dinginnya hati
seseorang ketika ditanya tentang sesuatu yang dia tidak ketahui,
kemudian ia menjawab: “Wallahu a’lam”“. (Riwayat ad-Darimi 1/ 62-63;
al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqih, juz 2 hal. 171; Baihaqi dalam
al-Madkhal no. 794 dari jalan yang banyak. Lihat Hilyatul ‘Alimi
al-Mu’alim hal. 60)
Kejadian yang sama juga terjadi pada Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ,
ketika beliau ditanya: “Apakah bibi mendapatkan warisan?” Be-liau
menjawab: “Saya tidak tahu”. Kemudian si penanya berkata: “Engkau tidak
tahu dan kami pun tidak tahu, lantas…?” Maka Ibnu UmarRadhiallahu
‘anhuma berkata: “Pergilah kepada para ulama di Madinah, dan tanyalah
kepada mereka”. Maka ketika dia berpaling, dia berkata: “Sungguh
mengagumkan, seorang Abu Abdirrahman (Yakni Ibnu Umar radhiallahu
‘anhum) ditanya sesuatu yang beliau tidak tahu, beliau katakan: “Saya
tidak tahu”. (Riwayat ad-Darimi 1/63; Ibnu Abdi Barr dalam Jami’ Bayanil
‘Ilmi, al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqih, juz 2 hal. 171-172;
al-Baihaqi dalam al-Madkhal, 796. Lihat Hilyatul ‘Alimi al-Mu’alim hal.
61)
Datang seseorang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah bertanya
tentang satu masalah hingga beberapa hari beliau belum menjawab dan
selalu mengatakan: “Saya tidak tahu”. Sampai kemudian orang itu datang
dan berkata: “Wahai Abu Abdillah, aku akan keluar kota dan aku sudah
sering pulang pergi ke tempatmu (yakni meminta jawaban)”. Maka Imam
Malik menundukkan kepalanya beberapa saat, kemudian mengangat kepalanya
dan berkata: “Masya Allah Ya hadza, aku berbicara adalah untuk
mengharapkan pahala. Namun, aku betul-betul tidak mengetahui apa yang
kamu tanyakan.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam al-Hilya, 6/323; Ibnu Abdil
Barr dalam Jami Bayanil Ilmi, 2/53; Baihaqi dalam al-Madhkal no. 816;
al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqih, 2/174; Lihat Hilyatul ‘Alimi
al-Mu’alim, hal. 63).
Dari beberapa ucapan di atas, kita diperintahkan untuk menyampaikan
apa yang kita ketahui dari al-Qur’an dan as-Sunnah, dan dilarang untuk
berbicara pada sesuatu yang tidak kita ketahui.
Sebagai penutup kita dengarkan nasehat seorang ulama sebagai berikut:
“Belajarlah engkau untuk mengucapkan ’saya tidak tahu’. Dan janganlah
belajar mengatakan ’saya tahu’ (pada apa yang kamu tidak tahu –pent.),
karena sesungguh-nya jika engkau mengucapkan ’saya tidak tahu’ mereka
akan mengajarimu sampai engkau tahu. tetapi jika engkau mengatakan
‘tahu’, maka mereka akan menghujanimu dengan pertanyaan hingga kamu
tidak tahu”. (Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 2/55 melalui nukilan Hilyatul ‘Alim
al-Mu’alim, Salim bin ‘Ied al-Hilaly, hal. 66)
Perhatikanlah pula ucapan Imam asy-Sya’bi rahimahullah : “Kalimat
’saya tidak tahu’ adalah setengah ilmu”. (Riwayat ad-Darimi 1/ 63;
al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqih, juz 2/173; Baihaqi dalam
al-Madkhal no. 810. Lihat Hilyatul ‘Alimi al-Mu’alim hal. 65)
Maka kalau seseorang ’sok tahu’ tentang sesuatu yang tidak ada ilmu
padanya, berarti bodoh di atas kebodohan. Yakni bodoh tentang ilmunya
dan bodoh tentang dirinya (Tidak menyadari kebodohannya).
Catatan Kaki:
1) Jawaban di atas diucapkan jika pertanyaannya berkaitan dengan masalah
syari’at. Namun, jika perta-nyaannya berkaitan dengan masalah takdir
dan sejenisnya, jawabannya cukup dengan “wallahu a’lam”, karena
Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam sendiri pun tidak mengetahuinya.
(Demikianlah yang kami dapatkan dari Syaikh ‘Utsaimin dalam majlisnya).
Sumber : Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 74/Th. II 07 Rajab 1426 H/12 Agustus 2005 M
sumber: http://salafycirebon.com/belajar-mengucapkan-saya-tidak-tahu.htm
0 komentar:
Posting Komentar
berkata baik, atau diam