(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari)
Alhamdulillah
pada edisi ini dan selanjutnya, insya Allah kita akan melihat beberapa
penjelasan berkenaan dengan sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian besar pembahasan di sini sengaja penulis nukil dari kitab yang mubarak, Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan “Asal-nya” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), yang ditulis oleh Asy-Syaikh yang mulia, Muhammad ibnu Nuh, Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Karena kitab yang beliau susun tersebut merupakan karya yang paling lengkap memuat sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam babnya, sebagaimana hal ini dikatakan oleh guru besar kami, Syaikh yang mulia, Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i rahimahullah.
Disamping itu, penulis juga berupaya menukil dan menambahkan dari
beberapa referensi lainnya sebagai tambahan faedah berkenaan dengan
pembahasan ini. ‘Tak ada gading yang tak retak’, mudah-mudahan
bermanfaat bagi kita semua. Wallahul muwaffiq ilash shawab.
1. Niat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah amal itu dengan niat dan setiap orang hanyalah beroleh apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 54 dan Muslim no. 4904)
Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
“Niat adalah maksud. Maka orang yang hendak shalat menghadirkan dalam
benaknya shalat yang hendak dikerjakan dan sifat shalat yang wajib
ditunaikannya, seperti shalat zhuhur sebagai shalat fardhu dan
selainnya, kemudian ia menggandengkan maksud tersebut dengan awal
takbir.” (Raudhatuth Thalibin, 1/243-244)
Sudah
berulang kali disebutkan bahwa niat tidak boleh dilafadzkan. Sehingga
seseorang tidak boleh menyatakan sebelum shalatnya, “Nawaitu an
ushalliya lillahi ta’ala kadza raka’atin mustaqbilal qiblah…” (Aku
berniat mengerjakan shalat karena Allah Subhanahu wa ta’ala sebanyak sekian rakaat dalam keadaan menghadap kiblat…).
Melafadzkan niat tidak ada asalnya dalam As-Sunnah. Tidak ada seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
membolehkan melafadzkan niat. Tidak ada pula seorang tabi’in pun yang
menganggapnya baik. Demikian pula para imam yang empat. Sementara kita
maklumi bahwa yang namanya kebaikan adalah mengikuti bimbingan
As-Salafush Shalih.
Ada kesalahpahaman dari sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah terhadap
ucapan beliau, dalam masalah haji, “Apabila seseorang berihram dan
telah berniat dengan hatinya, maka ia tidak diharuskan menyebut niat itu
dengan lisannya. Haji itu tidak seperti shalat, di mana tidak shahih
penunaiannya terkecuali dengan nathq (pelafadzan dengan lisan).”
Maka hal ini dijelaskan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i Asy-Syafi’i rahimahullah dalam
kitab Al-’Aziz Syarhul Wajiz yang dikenal dengan nama Syarhul Kabir
(1/470): “Jumhur ulama kalangan Syafi’iyyah berkata: ‘Al-Imam
Asy-Syafi’i –semoga Allah Subhanahu wa ta’ala meridhainya–
tidaklah memaksudkan dengan ucapannya tersebut adanya pelafadzan niat
dengan lisan (tatkala hendak mengerjakan shalat). Yang beliau maksudkan
adalah takbir (yaitu takbiratul ihram, pen.), karena dengan takbir
tersebut sahlah shalat yang dikerjakan. Sementara dalam haji, seseorang
menjadi muhrim walaupun tanpa ada pelafadzan.”
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Bila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamberdiri
untuk shalat, beliau langsung mengucapkan takbiratul ihram dan tidak
mengucapkan apa pun sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama sekali.
Beliau juga tidak mengatakan, ‘Aku tunaikan untuk Allah Subhanahu wa ta’ala shalat
ini dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum’.
Demikian pula ucapan ada’an atau qadha’an ataupun fardhal waqti.
Melafadzkan
niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah).
Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi n, baik
dengan sanad yang shahih, dhaif, musnad (bersambung sanadnya), ataupun
mursal (tidak bersambung). Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat,
demikian pula tabi’in maupun imam yang empat, tak seorang pun dari
mereka yang menganggap baik hal ini.
Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang belakangan) keliru memahami ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah –semoga Allah Subhanahu wa ta’ala meridhainya–
tentang shalat. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Shalat itu tidak seperti
zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan
zikir.”
Mereka
menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah ucapan niat seseorang yang
hendak shalat. Padahal yang dimaksudkan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dengan zikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram. Bagaimana mungkin Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menyukai perkara yang tidak dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam
satu shalat pun, begitu pula para khalifah beliau dan para sahabat yang
lain? Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang
bisa menunjukkan kepada kita satu huruf saja dari mereka tentang perkara
ini, maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan penuh
ketundukan dan penerimaan. Karena, tidak ada petunjuk yang lebih
sempurna daripada petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang
diambil dari sang pembawa syariat Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Zaadul Ma’ad, 1/201)
2. Takbiratul ihram
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammembuka shalat beliau dengan mengucapkan: Allahu Akbar, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha berikut ini:
كَانَ
رَسُولُ اللهِ يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةِ
بِالْحَمْدِ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ
يُشْخِصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ، وَكَانَ
إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ
قَائِمًا، وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ
حَتَّى يَسْتَوِيَ جَالِسًا. وَكاَنَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
التَّحِيَّةَ، وَكَانَ يَفرِشُ رِجْلَهُ اليُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ
الْيُمْنَى، وَكاَنَ يَنهَى عَن عُقْبَةِ الشَّيطَانِ وَيَنْهَى أَنْ
يَفْتَرِشَ الرَّجُلُ ذِرَاعَيهِ افْتِرَاشَ السَّبُعِ وَكَانَ يَخْتِمُ
الصَّلاَةَ بِالتَّسْلِيمِ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammembuka
shalat beliau dengan takbir dan membaca Alhamdulillahi Rabbil Alamin.
Apabila ruku’, beliau tidak mengangkat kepalanya dan tidak pula
menundukkannya, akan tetapi di antara keduanya. Apabila bangkit dari
ruku’, beliau tidak sujud sampai beliau berdiri lurus. Dan ketika
mengangkat kepalanya dari sujud, beliau tidak sujud kembali hingga
beliau tegak duduknya. Pada setiap dua rakaat beliau membaca tahiyat.
Beliau membentangkan kakinya yang kiri dan menegakkan (telapak) kakinya
yang kanan. Beliau melarang duduk seperti duduknya setan, dan melarang
seseorang membentangkan kedua lengan bawahnya seperti binatang buas
membentangkannya (yakni meletakkan lengan di lantai ketika sujud). Dan
beliau menutup shalat dengan salam.” (HR. Muslim no. 1110)
Hadits ini
memiliki jalan lain, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Yusuf bin
Ya’qub, ia berkata: Abu Ar-Rabi’ telah menceritakan kepada kami, ia
berkata: Hammad telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Budail telah
menceritakan kepada kami, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Aisyah radhiallahu ‘anha:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يَفْتَتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةِ بِـ(الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ)
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammembuka shalat beliau dengan takbir dan membaca Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.”
Hadits lain yang menunjukkan amalan ini adalah hadits Abu Humaid As-Sa’idi radhiallahu ‘anhu,ia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا قَامَ إِلَى الصّلَاةِ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَقَالَ: اللهُ أَكْبَرُ
“Bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambangkit untuk mengerjakan shalat, beliau menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya dan berkata: ‘Allahu Akbar’.” (HR. Ibnu Majah no. 803 dan dishahihkan dalam Shahih Sunan Ibnu Majah)
Takbiratul
ihram ini merupakan salah satu rukun shalat menurut pendapat jumhur*1.
Adapun Hanafiyyah berpandangan takbir ini merupakan syarat, demikian
pula satu sisi dari pendapat Syafi’iyyah. Sementara Az-Zuhri
bersendirian dalam memandang sunnahnya, sebagaimana dinukilkan oleh
Al-Imam Ibnul Mundzir. (Al-Isyraf ‘ala Madzahibil ‘Ulama 2/7, Fathul Bari 2/282)
Namun yang
rajih adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana telah disebutkan
sebagian nashnya. Dengan demikian, tidak sah shalat bila takbir ini
sampai terluputkan/ditinggalkan. Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan kepada seseorang yang salah shalatnya untuk melakukan takbir ini.
Hadits yang kami maksudkan adalah hadits yang masyhur dengan sebutan hadits al-musi’ shalatuhu, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,disebutkan bahwa ada seseorang yang bernama Khallad ibnu Rafi’ radhiallahu ‘anhu, masuk masjid untuk mengerjakan shalat, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamberada di salah satu sudut masjid. Seselesainya dari shalat, Khallad ini mendatangi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamseraya mengucapkan salam. Beliau pun menjawab salamnya lalu bersabda kepadanya:
ارْجِعْ
فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. فَرَجَعَ الرَّجُلُ فَصَلَّى كَمَا
كَانَ صَلَّى، ثُمَّ جاَءَ إِلَى النَّبِيِّ فَسَلَّمَ عَلَيهِ فَقَالَ
رَسُولُ اللهِ : وَعَلَيكَ السَّلاَمُ؛ ثُمَّ قَالَ: ارْجِعْ فَصَلِّ،
فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. حَتَّى فَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. فَقَالَ
الرَّجُلُ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، مَا أُحْسِنُ غَيرَ هَذَا،
عَلِّمْنِي. قَالَ: إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ
اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى
تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعتَدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ
اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
جَالِسًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا
“Kembalilah
lalu shalatlah, karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Orang itu pun
kembali lalu mengerjakan shalat sebagaimana shalatnya yang sebelumnya.
Setelahnya ia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
mengucapkan salam, maka beliau menjawab, “Wa ‘alaikas salam.” Kemudian
beliau melanjutkan, “Kembalilah lalu shalatlah, karena sesungguhnya
engkau belum shalat.” Demikian Rasulullah memerintahkan sampai orang itu
mengulangi shalatnya sebanyak tiga kali. Pada akhirnya orang itu
berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan al-haq, aku tidak bisa
mengerjakan shalat lebih bagus daripada apa yang telah kukerjakan.
Kalau
begitu ajari aku (bagaimana shalat yang benar).” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
memberi bimbingan, “Bila engkau hendak berdiri untuk shalat, maka
bertakbirlah. Setelahnya, bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an.
Kemudian ruku’lah hingga engkau thuma’ninah dalam keadaan ruku’. Lalu
angkat kepalamu hingga engkau berdiri lurus. Setelahnya sujudlah hingga
engkau thuma’ninah dalam keadaan sujud. Setelah itu angkatlah kepalamu
hingga engkau lurus dan thuma’ninah dalam keadaan duduk. Kemudian
lakukanlah apa yang telah disebutkan tadi dalam shalatmu seluruhnya.” (HR. Al-Bukhari no. 757 dan Muslim no. 883)
Perhatian
Semua
amalan shalat yang disebutkan dalam hadits al-musi’ shalatuhu (hadits di
atas) ini merupakan rukun, tidak sah shalat tanpanya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/19)
Faedah
Bagi
makmum yang shalat di belakang imam dan orang yang shalat sendiri
(munfarid) hendaklah memerhatikan bahwa takbir ini diucapkan dengan
lisan, dengan menggerakkannya, sehingga tidak cukup bila hanya diucapkan
dalam hati. Namun, bilamana seseorang itu bisu, tidak bisa berbicara,
maka ia meniatkan takbir dalam hatinya tanpa perlu menggerakkan bibir
dan lisannya, karena hal itu perbuatan sia-sia dan melakukan gerakan
tanpa hajat. Toh dengan kebisuannya, suaranya tidak akan keluar.
Ketika
bertakbir ini tidak diharuskan seseorang mengeluarkan suara yang dapat
didengar oleh kedua telinganya*2, walaupun dalam masalah ini ada khilaf.
Namun yang rajih adalah sebagaimana yang kami sebutkan. Karena
mengharuskan suara takbir itu terdengar oleh telinga pengucapnya
merupakan amrun zaid (perkara yang lebih) dari ucapan dan lafadz.
Sementara, apa yang lebih dari keterangan As-Sunnah harus ada dalilnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/19-21)
Dengan
diucapkannya takbiratul ihram berarti haram seseorang melakukan
pekerjaan selain amalan shalat, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيْرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Kunci shalat adalah bersuci/wudhu, pengharamannya adalah takbir dan penghalalannya adalah salam.” (HR. Abu Dawud no. 61, 618, At-Tirmidzi no. 3, 238 dan selainnya.
Kata Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud: “Hasan shahih.”)
Dalam
hadits ini ada dalil bahwa shalat hanya bisa dibuka dengan takbir Allahu
akbar, tidak sah dengan zikir-zikir yang lain. Hal ini merupakan
pendapat jumhur. Adapun pendapat Abu Hanifah “Shalat bisa dibuka dengan
setiap lafadz yang menunjukkan pengagungan (kepada Allah Subhanahu wa ta’ala),” adalah pendapat yang marjuh (lemah). (Al-Isyraf ‘ala Madzahibil ‘Ulama’ 2/7, Nailul Authar 2/6)
Mengeraskan suara ketika bertakbir
Ketika bertakbir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammengeraskan
suaranya hingga dapat didengar oleh orang di belakang beliau,
sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim
(1/223), Ahmad (3/18), dan lainnya, dari Fulaih ibnu Sulaiman, dari
Sa’id ibnul Harits, ia berkata, “Suatu ketika Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang biasa mengimami orang-orang jatuh sakit atau sedang pergi, maka Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu pun
menggantikan posisi imam. Beliau mengeraskan suara ketika bertakbiratul
ihram, demikian pula ketika hendak ruku’, ketika mengatakan sami’allahu
liman hamidah, ketika mengangkat kepalanya dari sujud, ketika hendak
sujud, ketika mengangkat kepala dan ketika bangkit dari dua rakaat,
sampai akhirnya beliau menyelesaikan shalat. Ternyata ada yang
menyampaikan kepada beliau bahwa orang-orang berselisih dalam perkara
shalat beliau tadi. Abu Sa’id pun naik mimbar dan berkata, “Wahai
manusia! Demi Allah, aku tidak peduli apakah shalat kalian berbeda
ataupun tidak dengan shalatku. Yang penting demikianlah aku dulunya
melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamshalat.” (Al-Hakim menshahihkannya menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim, serta disepakati oleh Adz-Dzahabi rahimahullah)
Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata:
“Hadits ini menunjukkan disenangi bagi imam untuk mengeraskan suaranya
saat bertakbir agar makmum tahu perpindahan gerakan imam. Bila si imam
suaranya lemah (tidak bisa keras) karena sakit atau alasan lainnya, maka
sunnah bagi muadzdzin atau selainnya dari kalangan makmum untuk
menjahrkan/mengeraskannya dalam kadar yang dapat didengar oleh manusia.
Sebagaimana hal ini pernah dilakukan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammengimami manusia dalam keadaan suara beliau lemah karena sakit*3…
Adapun
menyampaikan takbir imam yang dilakukan makmum tanpa ada kebutuhan,
sebagaimana biasa dilakukan oleh kebanyakan orang di zaman kita ini
dalam bulan Ramadhan, sampaipun di masjid yang kecil, tidaklah
disyariatkan menurut kesepakatan ulama, sebagaimana dihikayatkan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Fatawa (1/69-70 dan 107). Dulunya, Bilal radhiallahu ‘anhu ataupun selainnya tidak pernah meneruskan takbir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamkepada
para makmum di belakang beliau. Begitu pula di masa Al-Khulafa’
Ar-Rasyidun, tidak ada yang menyampaikan takbir mereka di belakang
mereka. Karena itulah mayoritas ulama terang-terangan menyatakannya
makruh. Bahkan ada yang mengatakan batal shalat pelakunya tersebut. Ini
ada dalam madzhab Malik, Ahmad, dan selain keduanya…
Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
‘Tidaklah diragukan bahwa tabligh (menyampaikan takbir imam kepada
makmum) tanpa ada kebutuhan merupakan bid’ah. Siapa yang meyakininya
sebagai amalan qurbah secara mutlak maka tidak diragukan dia adalah imam
yang jahil, atau memang ia seorang yang menentang dan bersengaja dengan
penyelisihannya. Karena permasalahan ini telah dinyatakan oleh para
ulama dari berbagai madzhab dalam kitab-kitab mereka, sampaipun dalam
kitab-kitab yang ringkas. Mereka semua menyatakan, ‘Tidak boleh ada satu
pun takbir yang dikeraskan di dalam shalat, terkecuali bila ia seorang
imam. Siapa yang terus-menerus meyakini perbuatan seperti ini merupakan
qurbah maka ia diberi hukuman karena menyelisihi ijma’.’ Wallahu a’lam.”
(Al-Ashl, 1/187-188)
Takbir dalam setiap gerakan
Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu di
atas juga menunjukkan disyariatkannya takbir dalam setiap gerakan turun
dan bangkit dalam shalat. Ini merupakan pendapat keumuman fuqaha dan
para ulama. Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunan-nya
(1/160) menyatakan bahwa bertakbir ketika ruku’ dan sujud diamalkan oleh
para sahabat Nabi n, di antaranya Abu Bakr, Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan
selain mereka g, serta orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in
rahimahumullah. Dan inilah yang dipegangi oleh keumuman fuqaha dan
ulama.
Pendapat ini dikuatkan pula dengan hadits yang lainnya, di antaranya hadits Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa ia pernah shalat bersama Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di Bashrah, ia berkata, “Orang ini mengingatkan kami dengan shalat yang dulunya kami kerjakan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Imran
menyebutkan bahwa dalam shalatnya itu, Ali bertakbir setiap kalian
mengangkat tubuhnya (naik) dan setiap kali meletakkannya (turun). (HR. Al-Bukhari no. 784 dan selainnya)
Faedah
Ulama berbeda pendapat tentang hukum takbir selain takbiratul ihram. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata: “Jumhur berpendapat sunnah. Sedang Al-Imam Ahmad rahimahullah dan sebagian ahlu zhahir menyatakan wajibnya seluruh takbir.” (Fathul Bari, 2/349)
Hujjah mereka yang menghukumi wajib adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
صَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُنِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533)
Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullah dalam ta’liq beliau terhadap kitab Fathul Bari berkata: “Inilah pendapat yang lebih zhahir dari sisi dalil. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammenjaga
amalan ini (terus melakukannya) serta memerintahkan umatnya untuk
mengerjakannya, sementara asal perintah adalah wajib. Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah bersabda: ‘Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.’
Adapun riwayat dari Utsman dan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhumaa,
yang menyebutkan bahwa keduanya tidak menyempurnakan takbir maka dibawa
kepada pemahaman bahwa keduanya tidak mengeraskan takbir, bukan
keduanya meninggalkan takbir. Riwayat tersebut harus dipahami seperti
ini, dalam rangka berbaik sangka kepada keduanya. Kalaupun mau diterima
keduanya meninggalkan takbir, maka hujjah lebih dikedepankan daripada
pendapat keduanya. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala merahmati keduanya dan seluruh sahabat. Wallahu a’lam.”
(insya Allah bersambung)
*1 Rukun
adalah suatu amalan yang bila ditinggalkan sengaja ataupun tidak maka
ibadah itu tidak sah. Untuk ibadah shalat, amalan itu tidak bisa diganti
dengan sekadar sujud sahwi tapi harus ditunaikan sesuai aturan yang
ada.
*2 Suara
tersebut tidak terdengar bisa jadi karena ada suara-suara bising di
sekitar tempat tersebut, atau karena lemahnya pendengaran, atau alasan
lainnya.
*3 Dalam hadits Jabir radhiallahu ‘anhu,ia menyebutkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam keadaan sakit saat kami shalat di belakang beliau, dan beliau shalat dalam keadaan duduk. Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu pun
memperdengarkan kepada manusia takbir beliau. Beliau lalu menoleh
kepada kami, ternyata beliau melihat kami shalat dalam keadaan berdiri,
maka beliau memberi isyarat kepada kami agar kami duduk. Kami pun duduk
dan kami shalat diimami oleh beliau dalam keadaan duduk.
Tatkala beliau
mengucapkan salam pertanda selesainya shalat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
إِنْ
كِدْتُمْ آنِفًا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّومِ، يَقُومُونَ
عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُم قُعُودٌ، فَلاَ تَفْعَلُوا، ائتَمُّوا
بِأَئِمَّتِكُمْ، إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِنْ صَلَّى
قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا
“Kalian
tadi hampir-hampir berbuat seperti perbuatannya orang-orang Persia dan
Romawi. Mereka berdiri di hadapan raja-raja mereka sementara raja-raja
ini duduk. Maka janganlah kalian lakukan. Contohlah imam kalian, jika ia
shalat dalam keadaan berdiri maka shalatlah kalian dalam keadaan
berdiri. Namun bila ia shalat dalam keadaan duduk maka shalatlah dengan
duduk.”
(HR. Muslim no. 927)
0 komentar:
Posting Komentar
berkata baik, atau diam