MEWASPADAI BAHAYA GERAKAN SYI'AH -KAUM PENDUSTA DAN PENYESAT UMAT
Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi
Permasalahan Syiah, sungguh tak bisa dipisahkan dari agama. Bahkan, sangat bersentuhan dengan akidah yang merupakan fondasi agama. Maka dari itu, cara menilainya pun harus dengan timbangan agama. Hal-hal lain terkait dengan hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat harus disesuaikan dengannya. Lantas, bagaimanakah penilaian agama tentang Syiah?
Penilaian agama tentang Syiah sebenarnya sudah final. Para ulama yang mulia, sejak dahulu sudah melakukan kajian yang panjang dan cermat tentang Syiah. Hasilnya, Syiah adalah kelompok sesat yang telah menyimpang dari kebenaran. Mereka berambisi untuk menghancurkan Islam dengan cara menghujat al-Qur’an, menjatuhkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengafirkan para sahabat beliau yang mulia. Mereka beragama dengan perkataan dusta dan persaksian palsu (taqiyah). Simaklah keterangan para ulama berikut ini.
1. Al-Imam Amir asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syiah.” (as-Sunnah karya Abdullah bin al-Imam Ahmad 2/549)
2. Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah ketika ditanya tentang seseorang yang mencela Abu Bakr dan Umar (yakni Syiah, pen.) berkata, “Ia telah kafir kepada Allah Subhanahu wata’ala.” Kemudian ditanya, “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata, “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala karya al-Imam adz-Dzahabi 7/253)
3. Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menjatuhkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam namun tidak mampu. Akhirnya, mereka mencela para sahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa beliau (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam) seorang yang jahat. Sebab, kalau memang beliau orang saleh, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang saleh.” (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimirrasul karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 580)
4. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah (Syiah) dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal karya al-Imam adz-Dzahabi 2/27—28)
5. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, Umar, dan Aisyah ) itu orang Islam.” (as- Sunnah karya al-Khallal 1/493)
6. Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, “Bagiku sama saja shalat di belakang Jahmi (seorang penganut akidah Jahmiyah) dan Rafidhi (Syiah) atau di belakang Yahudi dan Kristen. Mereka tidak boleh diberi salam, tidak boleh pula dikunjungi ketika sakit, dinikahkan, dijadikan saksi, dan dimakan sembelihannya.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hlm. 125)
Bisa jadi, Anda berkata, “Itu kan versi ulama Sunni! Bagaimanakah keterangan ulama ahlul bait tentang mereka?” Baiklah, kalau begitu simaklah keterangan berikut ini.
1. Khalifah Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berdoa, “Ya Allah, aku telah bosan dengan
mereka (Syiah) dan mereka pun telah bosan denganku. Maka dari itu,
gantikanlah untukku orang-orang yang lebih baik dari mereka, dan
gantikan untuk mereka seorang yang lebih jelek dariku…” (Nahjul
Balaghah, hlm. 66—67, dinukil dari asy-Syiah wa Ahlul Bait karya Dr.
Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 300)
2. Hasan bin Ali
radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Demi Allah! Menurutku, Mu’awiyah lebih
baik daripada orang-orang yang mengaku sebagai Syiah-ku, mereka berupaya
untuk membunuhku dan mengambil hartaku.” (al-Ihtijaj, karya
ath-Thabrisi hlm. 148, dinukil dari asy-Syiah Wa Ahlul Baitkarya Dr.
Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 300)
3. Husain bin Ali
radhiyallahu ‘anhu berdoa, “Ya Allah, jika Engkau memberi mereka (Syiah)
kehidupan hingga saat ini, porakporandakan mereka dan jadikan mereka
berkeping-keping. Janganlah Engkau jadikan para pemimpin (yang ada)
ridha kepada mereka (Syiah) selama-lamanya. Sebab, kami diminta untuk
membantu mereka, namun akhirnya mereka justru memusuhi kami dan menjadi
sebab terbunuhnya kami.” (al-Irsyad, karya al-Mufid hlm. 341, dinukil
dari asy- Syiah wa Ahlul Baitkarya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 302)
4. Al-Imam Ali bin Husain Zainal Abidin rahimahullah berkata, “Mereka
(Syiah) bukan dari kami, dan kami pun bukan dari mereka.” (Rijalul
Kisysyi, hlm. 111, dinukil dari asy-Syiah wa Ahlul Bait karya Dr. Ihsan
Ilahi Zhahir, hlm. 303)
5. Al-Imam Muhammad al-Baqir
rahimahullah berkata, “Seandainya semua manusia ini Syiah, niscaya tiga
perempatnya adalah orang-orang yang ragu dengan kami, dan seperempatnya
adalah orang-orang dungu.” (Rijalul Kisysyi, hlm. 179, dinukil dari
asy-Syiah wa Ahlul Bait karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 303)
6. Al-Imam Ja’far ash-Shadiq rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu
wata’ala berlepas diri dari orang-orang yang membenci Abu Bakr dan Umar
radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala’ karya al-Imam adz-Dzahabi
6/260)
Bisa jadi, Anda heran terhadap kesimpulan para ulama terkemuka di
atas. Sejauh itukah kesimpulan mereka? Apa yang melandasi berbagai
kesimpulan itu? Mengapa Syiah bisa seperti itu? Dan berbagai pertanyaan
lainnya yang menggelitik di hati Anda. Jawaban ringkasnya, karena Syiah
adalah sekte (baca: agama) tersendiri yang sangat bertolak belakang
dengan Islam. Mengapa demikian? Untuk lebih jelasnya ikutilah pembahasan
berikut ini.
KEDEKATAN SYI'AH DAN YAHUDI
Syiah sangat dekat dengan Yahudi. Kedekatan itu setidaknya dalam dua hal yang sangat prinsip:
1. Pendirinya
2. Prinsip keyakinannya (akidahnya).
Pendiri agama Syiah adalah seorang peranakan Yahudi kota Shan’a, Yaman.
Dia bernama Abdullah bin Saba’ al- Yahudi al-Himyari. Ibunya seorang
wanita yang berkulit hitam, sehingga dikenal pula dengan sebutan Ibnu
Sauda’ (putra seorang wanita yang berkulit hitam). Layaknya keumuman
bangsa Yahudi, Abdullah bin Saba’ berkarakter buruk, licik, dan penuh
makar terhadap Islam dan umat Islam. Dia menyusup di tengah-tengah umat
Islam untuk merusak tatanan agama dan masyarakat. Awal kemunculannya di
akhir masa Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Dengan kedok
keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk
(giat beribadah) dia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya akidah
sesat yang dia tebarkan di tengah umat, gerakan provokasi massa pun
dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu
‘anhu hingga terbunuhlah beliau.
Di masa Khalifah
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia menampakkan kecintaan dan
loyalitas yang tinggi terhadap sang Khalifah dan ahlul bait. Dia dan
komplotannya menamakan diri sebagai syi’atu Ali (para pengikut Ali).
Dengan kedok kecintaan dan loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu dan ahlul bait itulah agama Syiah terus menggurita di
tengah umat.
(Lihat Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
8/479, Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyyah karya al-Imam Ibnu Abil ‘Iz,
hlm. 490, dan Kitab at-Tauhid karya asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
al-Fauzan, hlm. 123)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah menegaskan, “Para ulama menyebutkan bahwa latar belakang
Rafidah (Syiah) adalah dari seorang zindiq (Abdullah bin Saba’) yang
menampakkan keislaman dan menyembunyikan identitas Yahudinya. Dia
berupaya merusak Islam sebagaimana Paulus (seorang Yahudi, -pen.) yang
menampakkan diri sebagai seorang kristiani untuk merusak agama Kristen.”
(Majmu’ Fatawa 28/483)
Adapun prinsip keyakinan
(akidah) Syiah, banyak kesamaannya dengan prinsip keyakinan (akidah)
Yahudi. Hal ini tentu tidak aneh, sebab pendirinya adalah seorang
Yahudi. Di antara prinsip keyakinan (akidah) mereka yang sama dengan
Yahudi adalah sebagai berikut.
Washiy adalah seseorang yang
mendapat wasiat untuk melanjutkan tugas atau misi si pemberi wasiat.
Dalam agama Yahudi, adanya washiy adalah satu keharusan. Demikian pula
dalam agama Syiah. Kalau washiy dalam agama Yahudi adalah Yusya’ bin Nun
yang didaulat sebagai pengganti Nabi Musa ‘Alaihissalam, maka washiy
dalam agama Syiah adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhusebagai
pengganti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi, dalam
prinsip keyakinan (akidah) Syiah, para khalifah sebelum Ali bin Abi
Thalib rahimahullah, yaitu Abu Bakr, Umar, dan Utsman rodhiyallohu'anhum adalah perampas
kekuasaan dan mereka telah kafir.
(Untuk lebih rincinya, silakan
lihatBadzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya
Abdullah al-Jumaili 1/169—197)
- Tentang kepemimpinan umat
Dalam agama Yahudi, kepemimpinan umat hanya berada pada keturunan Nabi
Dawud ‘alaihissalam. Dalam agama Syiah, kepemimpinan umat hanya berada
pada keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalibradhiyallahu ‘anhu.
Demikianlah kondisi 12 imam mereka yang diyakini ma’shum (terlindungi
dari dosa), termasuk Imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman. Dalam
pandangan Islam, Imam Mahdi adalah keturunan Hasan bin Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhuma, bukan keturunan Husain bin Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhuma.
(Untuk lebih rincinya, silakan lihat
Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah
al-Jumaili 1/201—224)
Raj’ah adalah hidup kembali
setelah mati sebelum hari kiamat. Dalam agama Yahudi, orang yang sudah
mati dapat hidup kembali. Demikian pula menurut agama Syiah. Mereka
meyakini bahwa orang-orang yang sudah mati dan tinggi keimanannya akan
dihidupkan kembali di masa Imam Mahdi (akhir zaman) untuk dimuliakan.
Demikian pula orang-orang yang sudah mati dan tinggi tingkat
kejahatannya akan dihidupkan kembali untuk dihinakan.
(Untuk lebih
rincinya, silakan lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah
lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 1/275—312)
Al-bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.
Dalam agama Yahudi, al-bada’terjadi pada Allah Subhanahu wata’ala.
Demikian pula menurut agama Syiah. Bahkan, mereka menjadikannya bagian
dari tauhid. Berbeda halnya dengan agama Islam, ilmu Allah Subhanahu
wata’ala sangat luas, tak dibatasi oleh sesuatu pun. Ilmu Allah
Subhanahu wata’ala bersifat azali (tak bermula dan berakhir). Tidak ada
sesuatu pun yang terluput dari ilmu- Nya.
(Untuk lebih rincinya, silakan
lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya
Abdullah al- Jumaili 1/317—352)
- Tentang mengubah Kitab Suci
Mengubah Kitab Suci adalah sifat tercela yang melekat pada ulama
Yahudi, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
banyak ayat-Nya. Demikian pula halnya dengan kaum Syiah. Mereka
mengubah al-Qur’an hingga berlipat jumlah ayatnya. Anehnya, mereka
mengklaim bahwa al-Qur’an yang ada di tangan umat Islamlah yang telah
mengalami pengubahan. Wallahul musta’an.
(Lebih lanjut, lihat Badzlul
Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah
al-Jumaili 1/355—438)
- Tentang kecintaan dan kebencian
Kaum Yahudi
berlebihan dalam hal mencintai sebagian nabi mereka dan membenci
sebagian yang lainnya. Demikian pula sikap mereka terhadap para ulama
yang membimbing mereka. Kaum Syiah tak jauh berbeda. Mereka berlebihan
mencintai para imam mereka, bahkan memosisikan mereka di atas para
malaikat dan para nabi. Di sisi lain, mereka membenci para sahabat ,
bahkan mengafirkan mereka.
(Lebih lanjut, lihat Badzlul Majhud fi Itsbat
Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 2/443—513)
- Tentang pengagungan diri mereka
Kaum
Yahudi meyakini bahwa mereka adalah manusia terbaik, bahkan mereka
mengklaim sebagai anak-anak Allah Subhanahu wata’ala dan lebih mulia
dari para malaikat. Demikian pula halnya dengan kaum Syiah. Mereka
mengklaim sebagai orang-orang pilihan Allah Subhanahu wata’ala dan lebih
mulia dari para malaikat.
Kaum Yahudi mengklaim bahwa merekalah manusia
yang seutuhnya, sedangkan selain mereka hina dina. Demikian pula halnya dengan kaum Syiah, mereka mengklaim sebagai manusia
yang seutuhnya, sedangkan selain mereka hina dina.
(Lebih lanjut, lihat
Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya
Abdullah al-Jumaili 2/517—554)
- Tentang pengafiran selain mereka
Kaum Yahudi memvonis selain mereka sebagai orang kafir, halal darah dan
hartanya. Demikian pula halnya kaum Syiah, memvonis selain mereka
sebagai orang kafir, halal darah dan hartanya.
(Lebih lanjut, lihat
Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah
al-Jumaili 2/559—597)
- Tentang kedustaan yang ada pada mereka
Sifat dusta sudah menjadi karakter kaum Yahudi, baik dalam kehidupan
beragama maupun keseharian. Tak beda jauh dengan kaum Syiah, mereka
menjalankan kehidupan beragama dengan kedustaan yang mereka sebut dengan
taqiyah. Oleh karena itu, al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah (Syiah) dalam hal
persaksian palsu"
(Untuk lebih rincinya, silakan lihat Badzlul Majhud
fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al Jumaili
2/631—669)
Patut dicatat di sini bahwa semua yang
telah disebutkan tentang kesamaan agama Syiah dengan agama Yahudi di
atas, tak didapati pada umat Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebab,
mereka meyakini kewajiban menyelisihi kaum Yahudi dalam kehidupan ini,
baik dalam hal akidah, ibadah, akhlak, adab, dan muamalah. Anehnya,
seiring dengan banyaknya kesamaan antara agama Syiah dengan agama
Yahudi, sebanyak itu pula perbedaannya dengan agama Islam. Perbedaan itu
bukan dalam hal yang kecil, melainkan dalam hal mendasar yang merupakan
prinsip dalam kehidupan beragama.
Cobalah perhatikan! Al-Qur’an mereka
berbeda dengan al-Qur’an umat Islam, azan dan iqamat mereka berbeda
dengan azan dan iqamat umat Islam, tata cara berwudhu mereka berbeda
dengan tata cara berwudhu umat Islam, kaifiyah shalat mereka berbeda
dengan kaifiyah shalat umat Islam, dan hari wukuf mereka di Arafah
(ketika berhaji) pun berbeda dengan hari wukuf umat Islam.
Syiah Merobohkan Tiga Pilar Utama Umat Islam
Ada tiga pilar utama dalam agama Islam. Tanpa ketiganya agama seseorang
menjadi rapuh dan sekejap akan runtuh. Tiga pilar utama itu adalah
al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, dan
pemahaman para sahabat (salaful ummah). Bagaimanakah upaya Syiah
merobohkan tiga pilar itu?
~> Al-Qur’an yang merupakan
Kitab Suci umat Islam tak lagi dianggap suci oleh mereka, bahkan tidak
sah dan kurang dari yang aslinya. Disebutkan dalam kitab al-Kafi (yang
kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih al-Bukhari di sisi kaum
muslimin) karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini (2/634) dari
Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq), dia berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an
yang dibawa Jibril kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam itu
(ada) 17.000 ayat.”
Disebutkan juga dari Abu
Abdillah ( 1 / 2 3 9 — 2 4 0 ) , dia berkata , “Sesungguhnya di sisi
kami ada mushaf Fatimah ‘alaihas salam, mereka tidak tahu apa mushaf
Fatimah itu.” Abu Bashir bertanya, “Apa mushaf Fatimah itu?” Dia (Abu
Abdillah) berkata, “Mushaf yang isinya tiga kali lipat dari yang ada di
mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari
al-Qur’an kalian.” (Dinukil dari kitab asy-Syiah wal Qur’an karya Dr.
Ihsan Ilahi zhahir, hlm. 31—32)
Bahkan, salah
seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad at-Taqi
an-Nuri ath- Thabrisi dalam kitabnya Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi
Kitabi Rabbil Arbab mengumpulkan berbagai riwayat dari para imam mereka
yang diyakini ma’shum (terjaga dari dosa), bahwa al-Qur’an yang ada di
tangan umat Islam itu telah terjadi pengubahan dan penyimpangan. Adapun
terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mereka
merobohkannya dengan berbagai cara. Di antaranya:
1.
Mengklaim bahwa para istri Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
pelacur, agar timbul kesan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah orang yang tidak baik, sehingga sunnahnya tak bisa diamalkan.
Disebutkan dalam kitab mereka, Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal, karya
ath-Thusi (hlm. 57—60), dinukilkan (secara dusta) perkataan sahabat
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma terhadap Ummul Mukminin Aisyah,
“Kamu tidak lain adalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang
ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Dinukil
dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin al-Muftara Minarrafidhati ‘ala
Ummahatil Mukminin karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha, hlm. 11)
2. Mengafirkan para sahabat kecuali beberapa orang saja dari mereka.
Tentu saja, dengan dikafirkannya para sahabat berarti gugur pula semua
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan melalui
mereka. Disebutkan dalam kitab mereka Rijalul Kisysyi (hlm. 12—13) dari
Abu Ja’far Muhammad al-Baqir, dia berkata, “Manusia (para sahabat)
sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan murtad
kecuali tiga orang.” Aku (perawi) berkata, “Siapa tiga orang itu?” Dia
(Abu Ja’far) berkata, “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan
Salman al-Farisi….” kemudian dia menyebutkan surat Ali Imran ayat 144.
(Dinukil dari asy- Syiah al-Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyyah fi Mizanil
Islam, hlm. 89)
Adapun sahabat Abu Bakr ash-
Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, dua manusia
terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka cela dan
laknat. Bahkan, mereka berlepas diri dari keduanya adalah bagian dari
prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan
doa mereka (Miftahul Jinan, hlm. 114), wirid laknat untuk keduanya:
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ، وَالْعَنْ صَنَمَيْ
قُرَيْشٍ وَجِبْتَيْهِمَا وَطَاغُوْتَيْهِمَا وَابْنَتَيْهِمَا
“Ya
Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan
keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan
dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka…. (yang dimaksud adalah
Ummul Mukminin Aisyah dan Hafshah).”
(Dinukil dari kitab al-Khuthuth al-
‘Aridhah karya as-Sayyid Muhibbuddin al-Khatib, hlm. 18)
Oleh karena itu, al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,
“Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menjatuhkan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam, namun tidak mampu. Akhirnya, mereka
mencela para sahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa beliau (Nabi
Muhammad) adalah seorang yang jahat. Sebab, kalau memang beliau orang
saleh, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang saleh.”
(ash-Sharimul
Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 580)
Dengan
robohnya pilar kepercayaan kepada para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, akan roboh pula pilar kepercayaan kepada al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Imam Abu Zur’ah ar-Razi
rahimahullah berkata, “Jika engkau melihat orang yang mencela salah
seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ketahuilah
bahwa ia zindiq (seorang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan
kekafiran). Sebab, Rasul bagi kita adalah haq dan al-Qur’an adalah haq.
Sesungguhnya yang menyampaikan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah para
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mencela para
saksi kita (para sahabat) dengan tujuan untuk meniadakan al-Qur’an dan
as-Sunnah. Mereka (Syiah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah
orang-orang zindiq.” (al-Kifayah karya al-Khathib al-Baghdadi, hlm. 49)
Lebih dari itu, dengan robohnya pilar kepercayaan kepada para sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, siapa pun akan kesulitan untuk
memahami agama Islam dengan baik dan benar. Sebab, melalui merekalah
ilmu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diwariskan dan melalui
mereka pula pemahaman yang benar tentang agama ini didapatkan. Tanpa
itu, kesesatanlah kesudahannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَن
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barang
siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan selain jalan orang-orang beriman, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
(an-Nisa’:
115)
Al-Imam Ibnu Abi Jamrah al- Andalusi
rahimahullah berkata, “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman
Allah Subhanahu wata’ala (di atas) bahwa yang dimaksud orang-orang
mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dan generasi pertama dari umat ini.”
(al-Marqat fi Nahjis Salaf
Sabilun Najah, hlm. 36—37)
Pengkhianatan Syiah Terhadap Umat Islam
Syiah
tercatat kerap melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam. Mereka telah
berkhianat terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
Khalifah Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, dan Husain bin Ali
radhiyallahu ‘anhuma.
(Lihat ungkapan kekecewaan mereka pada pembahasan
sebelumnya)
Sejarah pun mencatat bahwa runtuhnya
Daulah Abbasiyah (tahun 656 H) yang mengendalikan kepemimpinan umat
Islam dalam skala internasional, adalah karena pengkhianatan sang
Perdana Menteri, Muhammad Ibnul Alqami, yang beragama Syiah. Akibatnya,
Khalifah Abdullah bin Manshur yang bergelar al-Musta’shim Billah dan
para pejabat pentingnya tewas mengenaskan dibantai oleh pasukan Tartar
yang dipimpin oleh Hulaghu Khan.
Kota Baghdad (ibu
kota Daulah Abbasiyah) porak-poranda. Kebakaran terjadi di mana-mana.
Umat Islam yang tinggal di Kota Baghdad dibantai secara massal; tua,
muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, orang awam, dan ulama. Selama 40
hari pembantaian terus menerus terjadi. Kota Baghdad bersimbah darah.
Tumpukan mayat umat Islam berserakan di mana-mana. Bau mayat yang sudah
membusuk semakin menambah duka nestapa. Nyaris sungai Tigris menjadi
merah karena simbahan darah umat Islam. Sementara itu, sungai Dajlah
nyaris menjadi hitam karena lunturan tinta kitab-kitab berharga umat
Islam yang mereka buang ke dalamnya. Wallahul musta’an.
(Untuk lebih
rincinya, silakan membaca al- Bidayah wan Nihayah karya al-Imam Ibnu
Katsir, 13/200—211, Tarikhul Islam wa Wafayatul Masyahir wal A’lam karya
al-Imam adz-Dzahabi 48/33—40, dan Tarikhul Khulafa’karya al-Imam
as-Suyuthi, hlm. 325—335)
Demikianlah sekelumit
tentang agama Syiah, kesesatan, kejahatan, dan bahayanya terhadap umat
Islam. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi
pencari kebenaran.
Amin….
Sumber : Majalah AsySyariah Edisi 91
Ikut Andilah menyebarkan artikel ini, semoga Allah membalas anda dengan balasan yang terbaik
WhatsApp Salafy Indonesia