:::: MENU ::::

Jumat, 30 Oktober 2015

Lebih berkesan membaca transkrip ini sambil mendengarkan audionya. Barokallahufikum

DAKWAH DIATAS AL-HAQ ADALAH AMALAN JAMA'I MEMBUTUHKAN TA'AWUN DAN MUSYAWARAH

Disampaikan oleh:
Al-Ustadz Usamah bin Faishal Mahri hafizhahullahu
Kajian Islam Ilmiah Ukhuwah Imaniyah dan realisasinya melalui ta'awun diatas Al-Haq
Ma'had Darussunnah, Ka'nea - Jeneponto
Sabtu,19 Dzulhijjah 1436 H / 3 Oktober 2015 M
=======================================================================
Ikhwatifillah rahimani wa rahimakumullah, Taawun alal birri wa taqwa, saling mereka bertaawun itu sifat mukminin, itu sifat adab dari shalafush shaleh rahimahullah.
Demikian para ulama salaf, saling berta'awun, saling bertanasuh, saling menasihati, ketika mendapati kekeliruan atau kesalahan dari saudaranya. Dan itu kewajiban dari seorang da’iyah seorang alim untuk menghidupkan untuk taawun ini.
Agar masing-masing kita jangan punya anggapan... "Percuma saya bantu, saya tidak punya kapasitas untuk itu,...belum sampai kesana.."

La !!, semampumu apa yang bisa kamu beri.
Asy Syaikh Muqbil rahimahullahuta’ala di akhir-akhir hayatnya, beliau menangis sembari beliau katakan
“ Madza qoddamtu li dakwah?”
Apa yang aku berikan untuk dakwah ini?
Yakni belum apa-apa aku perbuat, merasa....belum berbuat apapun, dalam keadaan besar jasa beliau.
Berapa banyak yang terlahir dari madrasah beliau? thullabul ilm mustafidin wa suyukh?
Yang ilmu yang beliau ajarkan kepada mereka, adab dan akhlaq yang beliau bimbing untuk mereka.
Kita? Apa yang telah kita berikan? Apa yang kita suguhkan untuk dakwah kita?
Sementara dakwah masih banyak lubangnya, perlu ditambal. Terlalu banyak bahkan, kekurangan-kekurangannya, perlu dibantu, perlu keterlibatan banyak pihak.

Kalau meminjam istilah mereka, mereka katakan dakwah itu amal jama’i. Amalan jamak. Bukan satu dua orang, Tetapi banyak orang. Terlibat semuanya disana!
Untuk kemaslahatan mereka juga. Untuk kemaslahatan dakwah, taawanu.

Dan tanda (kata al Manawi rahimahullah), tanda keridhoan Allah kepada hamba-Nya kalau itu Allah  berikan taufik kepada hamba-Nya untuk berta'awun di atas birri dan taqwa.
Karena itu semua merupakan taufiq dari Allah. Ya, dia peduli dengan dakwahnya dengan saudara-saudarnya. Tidak memikirkan hanya dirinya sendiri, Tidak memikirkan kepentingan pribadinya.

Masing-masing orang punya kepentingan pribadi tentunya. Yang ini harus kerja, yang ini harus berangkat pagi-pagi, yang ini sore harus begini, yang itu sore harus begitu.
Kalau masing-masing mikir dirinya, tidak akan bisa ketemu, dan tidak akan bisa kemaslahatan dakwah itu dicapai dengan baik.
Harus ada keterlibatan dari semuanya, taawunu alal birri wat taqwa. Berta'awunlah kalian,

Allah Maha Tahu...
Bahwa hamba-Nya serba lemah, banyak kekurangan. Tanpa ta'awun akan sulit bagi mereka untuk mendapat manafi’ dan mashalih di dunia sebelum akhiratnya kelak.

Ikhwatifillah rahimani wa rahimakumullah, maka hendaknya masing-masing dari kita menyadari pentingnya ta'awun itu dalam dakwah. Tidak harus dengan hartamu, Dengan sumbangan pikiran, usulan, dengan...mungkin harta benda, tenagamu, dan yang lain-lainnya apa yang bisa kamu berikan untuk saudaramu.
Itu Allah perintah kepada mukminin, banyak dari amalan-amalan suci dan mulia dalam syariat ini  tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.

Harus taawun, dipikul akan terasa ringan dipikul bersama. Tidak menjadi berat dan beban kalau taawun itu hidup. Kalau tidak, hanya orang-orang itu terus yang ngurusi. Semuanya kamu pasrahkan, kamu percayakan kepadanya.
“wis itu bagiannya fulan, biar itu urusannya fulan.” Lantaran dia tidak bisa membantu apa-apa, padahal mampu kalau dia mau.

Kamu musyawarahkan, taawun membawa arti dan tuntutan musyawarah
- وشاورهم في الأمر
- وأمرهم شورى بينهم
Urusannya mereka saling bermusyawarah, musyawarahlah kepada mereka dalam urusan ini.
Dan sirr nya imam bukhari dalam kitabul i’tishom bil kitab wa sunnah di shahih bukhari membawakan ayat musyarawah ini
 وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ
artinya kata Hafidz rahimahullah, beliau ingin mengisyaratkan bahwa untuk i’tishom, untuk kamu berpegang teguh tamassukh dengan Al quran dan Sunnah tidak akan bisa kecuali dengan musyawarah!

Musyawarah, bainal uqala baina ruzana’, hukama’, ulama’. Tentunya orang-orang yang bijak, dipilih yang berakal bisa diajak bicara dengan baik, hilm!
Tanpa musyawarah akan sulit kamu bepegang teguh dengan tuntunan mengamalkan Al quran dan Sunnah, harus dengan adanya musyawarah, itu sifat mukminin.

Dimusyawarahkan! Tidak dikerjakan sendiri, berjalan tanpa musyawarah dengan saudara-saudaramu yang lainnya. Demikian seharusnya mukminin di dalam mereka mengamalkan  perintah-perintah dari Rabb-Nya. Di dalam mereka mengamalkan sunnah-sunnah rasul-Nya, manusia punya keterbatasan, punya kekurangan dan kelemahan.
Akan sulit kalau dia berjalan sendiri. harus!! ada taawun. Tanpa itu hampir! bisa dikatakan tidak ada arti ukhuwah, sia-sia kamu mengaku persaudaraan dan saling mencintai karena Allah tapi tidak ada ta'awunnya.
Tidak ada andil dan saham yang kamu berikan didalam dakwah. Tanpa itu tidak akan bisa berjalan dakwah tidak akan bisa berjalan dengan baik.

DOWNLOAD

Revisi1 dipublikasikan Pada :
Senin13 Muharram1437H/26 Oktober 2015M Jam 19:46wib

Transkrip oleh tim admin TIC
Jika ada kesalahan dalam transkrip, silahkan inbox ke 0857-7123-2111
Tholibul Ilmi Cikarang
_________________________________________________________________________________


Keterangan :
Revisi 1,
Perbaikan pada teks arab
Sebelumnya
وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرهم شورى بينهم

Yang benar
- وشاورهم في الأمر

- وأمرهم شورى بينهم

Rabu, 28 Oktober 2015

"Introspeksi dan Renungan : Kenapa Tidak Turun Hujan"
• Disertai penjelasan singkat tentang Shalat Istisqa'
• Penyampaian Himbauan Pemerintah RI untuk melakukan Shalat Istisqa'

bersama al-Ustadz Luqman Ba'abduh Hafizhahullah
di Masjid Mahad as-Salafy Jember
Ba'da Maghrib, 15 Muharram 1437H / 28 okt 2015

Durasi (27:52) = 4,78MB
DOWNLOAD AUDIO

WA Majmu'ah Manhajul Anbiya
Tanya Jawab Kajian Ilmiyah
Ma'had Anshorussunnah, Bone Sul-Sel
11-12 Muharam 1437H / 24-25 Oktober 2015M
dijawab Al Ustadz Muhammad Afifuddin As Sidawy
=======================================================================
Mohon penjelasan singkat manhaj dakwah Dzulkarnain dan pengikutnya !?

Ma'ruf ya akhi, antum kok tanya lagi, ha.....ma'ruf ya...
Sekarang ini barokallohufiykum, sekarang ini subhanalloh dari kalangan mukhadzdzilin-mumayyi'in, ketika muncul fitnah-fitnah ditengah-tengah mereka, langsung serempak membela. Bukan semata-mata yang di dalam negeri, di luar negeri serempak membela. Luar biasa, ini...luar biasa penyimpangannya ya ikhwan.
Muncul fitnah Al Imam di Yaman, barokallohufiykum. Masyaikhul Kibar bicara, tegas meminta taubat dari watsiqah yang ada. Subhanalloh, yang membela ha ula ini ya ikhwan. Yang membela Al Imam dan yang bersama dengan dia, mereka-mereka ini, mereka-mereka ini ya ikhwan, dari kalangan Sanusiyin hadza ya ikhwan. Luar biasa...

Ketika muncul seorang da'i, da'i ya ikhwan. Yang sejak dulu nggak pernah dikenal di kalangan salafiyin, hata ini ha ula(dzulqarnain dkk) tidak mengenal mereka sebelumnya ya ikhwan.
Muncul da'i yang namanya Dr. Zakir Naik dari India wa la Pakistan ya ikhwan. Ini ditahdzir oleh para Masyaikh.
Dikatakan oleh Syaikh Fauzan, "mulhid". Dia mengatakan Alloh itu tidak Maha Kuasa atas segala sesuatu. na'uzubillahimindzalik. Disampaikan kepada Syaih Sholeh Fauzan, "mulhid, hadza mulhid" kata beliau. Menyamakan Alloh 'Azzawajall dengan brahmana, dengan krisna, dengan yang lain-lainnya. na'udzubillahimindzalik. Wadheh penyimpangan yang ada.
Thoyyib, mereka-mereka ini membelanya, ha ula lengkap dengan rodjaiyunnya ya ikhwan. Dulu nggak dikenal, ditampilkan sekarang rame-rame oleh link-linknya rodja ya ikhwan. ini juga membela ha ula.
Subhanalloh, hampir semuanya yang menyimpang-menyimpang di zaman ini, yang masuk dalam kerangka tamyi', kerangka takhdzil, mukhadzdzilin bisa bersatu padu gitu ya ikhwan, membela mereka. Subhanalloh.

Sehinga semakin gambang, semakin jelas barokallohufiykum, ini semuanya. Fahim tum? loh kok diem saja?

Nah, begitu....
(Dzulqarnain dkk) Secara pergeserannya terus bergeser menuju kepada rodjaiyin halabiyin. Rodjaiyin halabiyin, grupnya firanda dan kawan-kawannya itu bergeser kepada ikhwanul muslimin. Toriqohnya, uslubnya, gayanya, arahnya kesana ya ikhwan. Allohulmusta'an walahaulawalaquwwata illabillahil 'aliyyil'adzim.

Hadza huwa, semakin lama bukan semakin bagus, semakin lama semakin mengerikan, barokallohufiykum. Sehingga kalau masih ada di era sekarang ini yang masih menbela-bela kita katakan pahlawan kesiangan, barokallohufiykum. Pahlawan kesiangan ya ikhwan.

Na'am, antum terus jalan pada dakwahnya antum, jangan tolah toleh, jangan memikirkan ha ula, lurus dakwahnya antum. Jangan digubris mereka semua, barokallohufiykum. na'am
Wallohu ta'ala a'lam bishshowab.

DOWNLOAD AUDIO

Sumber: WSI

Selasa, 27 Oktober 2015

[Transkip dari audio Tausiyah Al-Ustadz Luqman Ba'abduh hafizahullah, malam Kamis 02 Muharram 1437 H ll Ma'had As-Salafy Jember]
===============================================================

Maka ini sebuah peringatan bagi kita wahai Ahlus Sunnah,
Jangan sampai di muka bumi ini kosong dari Al Mushlihun...
Jangan sampai di muka bumi ini kosong dari orang - orang yang berusaha melakukan pembenahan, dari menyampaikan al amru bil ma'ruf wa nahyu 'anil munkar. Karena kalau sudah seperti itu... habis kita...habis kita semua....

Thalabatul ilmi Ahlus Sunnah, Selalu ana katakan dan ana ulang-ulang dan semoga tidak bosan untuk mengingatkan bahwa kita di medan tempur....
Kita sekarang di medan juang...
Masing masing berbuat...

Thalabatul ilmi...na'am,
Masing masing serius belajar, Manfaatkan waktu...halaqotul ilmi...halaqoh halaqoh  ilmu dipenuhi, dimanfaatkan, disyukuri...na'am
Baarakalahu fiikum...

Mulai dari thalabatul ilmi, thullab di ma'had kita benar-benar belajar mukhlishan lillah...
Membenahi nawaya wa iradaat. Niat - niat dan kemauan kita masing - masing berbenah diri kepada Allah Subhaanahu wata'ala, berbenah diri...!
Kita membutuhkan pertolongan Allah Subhanahu wa ta'ala.

Kemudian ikhwanna selain thalabatul ilmi manfaatkan selagi masih ada, selagi masih punya kesempatan, na'am...
MANFAATKAN CEPAT, SERIUS, BELAJAR YANG SUNGGUH - SUNGGUH, ANAK ISTRI KITA....
SEBELUM NIKMAT INI DICABUT OLEH ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA
APA YANG BISA KITA LAKUKAN UNTUK DAKWAH....? DAKWAH TAUHID...

Kalau saudara kita di Yaman.. Ahlus Sunnah berjuang mengorbankan jiwa mereka, telah mati banyak dari Ahlus  Sunnah di Yaman,
Ahlus Sunnah di banyak tempat dibantai, di Iran.. di Iran Ahlus Sunnah dibunuhi karena mempertahankan sunnah
Di Libiya, di Aljazair...

JANGAN SAMPAI KITA (YANG) MENDAPAT KEMUDAHAN INI LALAI....
KEMUDIAN YANG MENJADI KORBAN...
MENERIMA KORBAN KELALAIAN KITA ADALAH ANAK - ANAK KITA..... ANAK - ANAK KITA... Na'am...
Baarakallahu fiikum...

Maka dari itu...
SIAPA YANG BISA BERBUAT....BERBUAT !!
JANGAN BERPANGKU TANGAN...
JANGAN MALAS...
JANGAN TIDAK PEDULI....

Disamping ini adalah amal buat kita masing masing menghadap Allah. Membela tauhid, berjuang untuk tauhid...
Juga itu untuk... Baarakallahu fiikum (Untuk) Kemaslahatan dakwah kita..

Kalau mereka melakukan kaderisasi siang malam terus menerus, na'am 
Maka kitapun juga  melakukan kaderisasi.

Sekali lagi ana ingatkan kepada ikhwan....
UNTUK BERSYUKUR DAN SAMA - SAMA BERJUANG MELAKUKAN DAKWAH DENGAN SEGALA YANG KITA MAMPU  
PERBAIKI UKHUWAH DIANTARA ANTUM...

Sekali ana ingatkan dan ana tidak bosan untuk mengingatkan ini, na'am...
ADA PROBLEM JANGAN BERPANJANG - PANJANG
JANGAN BERLAMA - DALAM PROBLEM
GA ADA WAKTU KITA...GA PUNYA WAKTU....KITA GA PUNYA WAKTU UNTUK BERLAMA - LAMA.
Qolbu kita hanya satu.....qolbu kita ini hanya satu. Jangan diisi dengan problem-problem seperti itu...na'am...
Baarakallahu fiikum...

Ini yang bisa ana sampaikan pada kajian kali ini...semoga Allah dan ana ingatkan selalu pada ikhwan...

Banyak-banyaklah berdo'a untuk kebaikan muslimin...
Banyak berdoa untuk kebaikan negeri ini...
Negeri kita sedang terancam.
Disamping yang tadi telah disebutkan, masih banyak sisi-sisi lainnya yang dapat mengundang murka Allah Subhaanahu wa ta'ala di negeri ini.. Do'akan waliyul amr... Agar diberi hidayah oleh Allah...

Do'akan antum ya ikhwan...dalam kesempatan- kesempatan... ini perkara sangat serius ! Siapa yang bisa merenungi, memahami dengan benar ucapan al Imam Fudhail bin iyadh dan Imam Ahmad dan yang lainnya,

ﻟﻮ ﺃﻥ ﻟﻲ ﺩﻋـــﻮﺓ ﻣﺴﺘﺠﺎﺑﺔ ﻣﺎ ﺻﻴﺮﺗﻬـــﺎ إﻻ ﻓﻲ ﺍﻻﻣــــﺎﻡ
Siapa yang bisa merenungi ini ??   Apa yang membuat Imam ahmad mengucapkan ucapan ini...??  Coba antum duduk sejenak merenungi apa yang menimpa beliau....
Sampai mengucapkan....

 لو كــــانت لي دعــــوةٌ مستجــابة لدعـوت بها للسلطــــان
" Kalau seandainya aku punya satu kesempatan do'a yang mustajaabah yang akan dijawab dan dikabulkan, kesempatan emas aku gunakan untuk mendo'akan Waliyul 'amr "

Padahal beliau punya hajat yang banyak... Hajat minta tambahan iman, tambahan amal shaleh, minta jannah, hidayah buat anak anaknya, keluarganya, keselamatan mereka, rizki yang halal dan seterusnya...
Satu ini...do'a mustajaabah
Siapa yang merenungi, kenapa sampai melakukan ucapan seperti itu...coba antum renungkan...

Jangan hanya itu.. pelajaran dicatat, dihapal, dimuroja'ah La..
ini perjuangan panjang, sejarah emas, penuh pengorbanan dan perjuangan.
Aimatus sunnah Syaikhul Islam yang antum dengar...
Bagaimana pengorbanannya sampai dipenjara, tidak keluar bebas mendapatkan sanjungan sebagai pahlawan, keluar jenazahnya dari penjara itu....yang keluar adalah keranda jennazah beliau.

Apa itu semua ??!!!
Perjuangan mempertahankan tauhid membantah bid'ah ahli bid'ah ash shufiyah, asy syairah, maturidiyyah, al mu'tazilah, al qidariyyah dibantah semua oleh Syaikhul Islam. Dan itu sebagai akibatnya....Harus beliau terima perjuangan yang besar....

Maka sekali lagi
Kepada Salafiyyun..., na'am....Bangkit...!!
Banyak ibadah kepada Allah Subhanahu wa ta'ala
Perbanyak ibadah kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.
Jaga ukhuwah diantara kita. Yang malas bukan waktunya malas...! Sekarang ini yang malas bukan waktunya malas...!

Antum tidak bisa menghancurkan ahlul bid'ah bahkan merugikan diri antum dengan kemalasan itu....
Habis waktu antum... habis waktu...
Di akherat ditanya apa yang kamu perbuat...???
Ga bisa menjawab...
Baarakallahu fiikum...

Bukan waktunya lagi masing-masing kita harus dikontrol.. Belajarnya, tasmi'nya, akhlaknya, dikontrol dari waktu... Bukan waktunya sekarang (bermalasan)....!!
Waktunya untuk berjuang sekarang..!! Waktunya untuk mempersiapkan diri untuk jihad fii sabilillah...!!
Bi saifil ilmi wa sinanil hujjah !!!Berperang dengan ilmu...
Baarakallahu fiikum...


DOWNLOAD
(0,91 MB) - durasi [07:51]
____________________
 مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد
WA Forum Berbagi Faidah [FBF]  | www.alfawaaid.net

Minggu, 25 Oktober 2015

Mata dan qalbu senantiasa berhubungan. Jika salah satunya baik, maka akan baik pula yang lainnya. Maka menjaga mata merupakan sesuatu yang mesti kita lakukan agar qalbu merasakan banyak manfaat darinya.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan manfaat menahan pandangan mata dalam kitabnya yang sangat bernilai Ad-Da`u wad Dawa`atau Al-Jawabul Kafi liman Sa`ala ‘anid Dawa`isy Syafi.
  • Pertama: Dengan menahan pandangan mata berarti berpegang dengan perintah Allah subhanahu wata'ala yang merupakan puncak kebahagiaan seorang hamba dalam kehidupannya di dunia dan di akhirat.
  • Kedua: Menahan pandangan akan mencegah sampainya pengaruh panah beracun ke dalam qalbu1 seorang hamba.
  • Ketiga: Menahan pandangan akan mewariskan kedekatan seorang hamba dengan Allah  dan menyatukan qalbunya agar hanya tertuju kepada Allah . Sebaliknya, mengumbar pandangan akan memecah belah qalbu dan mencerai-beraikannya.
  • Keempat: Menguatkan qalbu dan membahagiakannya. Sebaliknya, mengumbar pandangan akan melemahkan qalbu dan membuatnya sedih.
  • Kelima: Menahan pandangan akan menghasilkan cahaya bagi qalbu, sebagaimana mengumbar pandangan akan menggelapkan qalbu. Karena itulah setelah Allah  memerintahkan ghadhul bashar (menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan untuk melihatnya) dalam surah An-Nur (ayat 31 -red): “Katakanlah (wahai Nabi) kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…”

    Allah  ikutkan dengan firman-Nya: “Allah (Pemberi) cahaya kepada langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar…” (An-Nur: 35), yakni perumpamaan cahaya-Nya pada qalbu seorang hamba yang beriman yang berpegang dengan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
    Apabila qalbu itu bercahaya, datanglah utusan-utusan kebaikan kepadanya dari segala arah. Sebagaimana bila qalbu itu gelap akan datang kepadanya awan-awan bala` dan kejelekan dari setiap tempat. Segala macam bid‘ah, kesesatan, mengikuti hawa nafsu, menjauhi petunjuk, berpaling dari sebab-sebab kebahagiaan dan menyibukkan diri dengan sebab-sebab kesengsaraan, semua itu akan tersingkap oleh cahaya yang ada di dalam qalbu. Namun bila cahaya itu hilang, jadilah pemilik qalbu tersebut seperti seorang yang buta yang berkeliaran di malam yang gelap gulita.
  • Keenam: Menahan pandangan akan mewariskan firasat yang benar yang dengannya ia akan membedakan antara yang haq dengan yang batil, antara orang yang jujur dengan yang dusta.
    Ibnu Syujja‘ Al-Kirmani pernah berkata: “Siapa yang memakmurkan dzahirnya dengan mengikuti sunnah dan batinnya dengan terus menerus muraqabah2, dan menahan pandangannya dari perkara-perkara yang diharamkan, menahan jiwanya dari syubhat dan makan dari yang halal, maka firasatnya tidak akan salah.”
    Allah  memberikan kepada hamba-Nya balasan yang sejenis dengan amalan yang dilakukannya, dan “Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah , niscaya Allah  akan menggantikan dengan yang lebih baik dari sesuatu tersebut.”3 Bila si hamba menahan pandang-annya dari perkara yang Allah  haramkan maka Allah  gantikan dengan memberikan cahaya pada pandangan hatinya. Allah  bukakan baginya pintu ilmu dan iman, ma’rifah, firasat yang benar dan tepat, semua ini hanya diperoleh dengan bashirah qalb (penglihatan qalbu).
  • Ketujuh: Menahan pandangan akan mewariskan kekokohan, keberanian, dan kekuatan pada qalbu.
  • Kedelapan: Menahan pandangan akan menutup celah bagi masuknya setan ke dalam qalbu. Karena setan itu masuk bersama pan-dangan mata, dan akan menembus bersama pandangan tersebut ke dalam qalbu lebih cepat dari masuknya udara ke tempat yang kosong. Lalu setan pun menyusupkan bayangan (lebih jauh) dari apa yang dilihat dan memperin-dahnya, sehingga gambaran itu menjadi berhala di mana qalbu berdiam di atasnya. Kemudian setan menjanjikannya, membuatnya berangan-angan, dan dinyalakanlah api syahwat di dalam qalbu. Lalu dilemparkanlah kayu bakar maksiat di atasnya. Jadilah qalbu tersebut berada di dalam api yang menyala-nyala, seperti seekor kambing di atas tungku api.
  • Kesembilan: Menahan pandangan akan mengosongkan qalbu dari memikirkan hal yang haram, sehingga qalbu hanya tersibukkan dengan perkara yang memberikan maslahat.
  • Kesepuluh: Antara mata dan qalbu itu ada penghubung dan jalan sehingga saling berhubungan satu sama lain. Bila salah satunya baik, maka baik pula yang lain. Dan sebaliknya, bila salah satu rusak maka rusak pula yang lain. Rusaknya qalbu akan merusakkan pandangan, dan rusaknya pandangan akan merusakkan qalbu. Demikian pula sebaliknya, pandangan yang baik akan menjadikan qalbu baik dan qalbu yang baik akan membaikkan pandangan. Jika qalbu telah rusak jadilah ia seperti tempat sampah yang merupakan tempat pembuangan najis, kotoran dan yang berbau busuk. Bila sudah demikian keadaannya, ia tidak bisa menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi pengenalan terhadap Allah , cinta kepada-Nya dan kembali pada-Nya, senang dan gembira bila dekat dengan-Nya. Namun yang menempatinya ketika itu adalah perkara-perkara yang sebaliknya.
Wallahul musta’an.
(lihat kitab Ad-Da`u wad Dawa`, karya Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, hal. 277-279)
(Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

http://asysyariah.com/manfaat-menahan-mata/
DAR'S SALAF
Renungan.
Fadhilatus syaikh Ibnu Al-'Utsaimin رحمه الله تعالى berkata:

Apabila engkau mencuci kainmu dari najis maka rasakanlah bahwa Allah mencintai engkau KARENA Allah cinta kepada orang-orang yang mensucikan diri, dan apabila engkau berwudhu maka rasakanlah bahwa Allah mencintaimu karena engkau sedang bersuci.

Apabila engkau mandi, rasakanlah bahwa Allah mencintaimu, karena Allah mencintai orang-orang yang mensucikan diri...
Dan demi Allah, sesungguhnya kita dalam keadaan lalai dari makna-makna ini, dan kebanyakan yang kita gunakan (baca: fikirkan) ialah:
~ bersuci dari najis atau hadats-hadats, karena thoharoh adalah syarat sahnya sholat,
~ karena takut sholat kita menjadi rusak,
akan tetapi terluputkan dari kita kebanyakan yang kita rasakan bahwa ini adalah TAQORRUB dan SEBAB untuk mendapatkan kecintaan Allah bagi kita,
kalau sekiranya kita rasakan ketika seseorang mencuci satu titik noda air kencing yang mengenai kainnya bahwa hal itu akan mendatangkan kecintaan Allah baginya, niscaya kita akan mendapatkan kebaikan yang banyak, AKAN TETAPI (SAYANGNYA) KITA DALAM KELALAIAN.

Syarah Al-'Aqidah Al-Wasithiyyah, Ibnu 'Utsaimin (1/217)
————————————————
▪قال الشيخ العلاّمة الفقيه /
     محمد بن صالح العثيمين
     رَحِمَـهُ اللهُ تَعَـالَى وَغَفَـرَ لَـهُ :


" إذا غسلتَ ثوبكَ من النّجاسة تحسُّ بأنَّ الله يحبّك لأن الله يحبُّ المتطهرين، وإذا توضأت تحسُّ بأن الله أحبك لأنك تطهرت، إذا اغتسلت تحس بأن الله أحبك؛ لأن الله يحب المتطهرين...

ووالله إنّنا لغافلون عن هذه المعاني، وأكثر ما نستعمل: الطهارة من النجاسة أو من الأحداث لأنها شرط لصحة الصلاة؛ خوفا من أن تفسد صلاتنا لكن يغيب عنا كثيرا أن نشعرَ بأن هذا قُربة وسبب لمحبة الله لنا..

لو كنا نستحضر عندما يغسل الإنسان نقطة بول أصابت ثوبه أن ذلك يجلب محبة الله له؛ لحصلنا خيرا كثيرا، لكننّا في غفلة.

[ شرح العقيدة الواسطية ١\٢١٧ ]

Alih Bahasa: Muhammad Sholehuddin Abu 'Abduh عَفَا اللّٰهُ عَنْه.
————————————————
WA Ahlus Sunnah Karawang | www.ahlussunnahkarawang.com

Kamis, 22 Oktober 2015

Syaikh Abdullah Abu Buthain rahimahullah ditanya :
Bagaimana jika terjadi keraguan dalam menentukan Hilal Muharram?

Beliau menjawab,
Diriwayatkan dari Ahmad ia berkata :
"Apabila tersamarkan atas kita awal bulan maka kita berpuasa tiga hari." [Ad Durarus Saniyyah, jilid 3 hal 360].

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
Ahmad berkata : "Jika awal bulan itu samar maka hendaknya berpuasa tiga hari. Hal itu dilakukan untuk meyakinkan bahwa ia telah berpuasa pada tanggal 9 dan 10." [ Al Mughni, jilid 3 hal 178].

Berkata 'Allamah Ibnu Qasim rahimahullah :
"Dan hal itu(puasa tiga hari karena ragu) bukan termasuk puasa syak (ragu) yang dilarang. Karena puasa syak yang dilarang adalah pada awal ramadhan." [Hasyiyah ar Raudhul Murabbi', jilid 3 hal 451].

Alih Bahasa : Abdurrahman bin Harun

Majmu'ah Ittiba'us Salaf (Sumpiuh)
WA Ahlussunnah Jakut
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
tambahan:
Sebagaimana yang kita ketahui terjadi perbedaan penetapan bulan Muharram di Indonesia dengan beberapa negara lain (salah satunya Saudi), dimana di Indonesia 10 Muharram jatuh pada hari Jumat, 23 Oktober 2015 sedangkan di negara lain jatuh pada hari Sabtu, 24 Oktober 2015.
Maka, berdasarkan penjelasan di atas untuk kehati-hatian sebaiknya diikuti puasa pada hari Sabtu, 24 Oktober 2015. Sehingga yang hari ini sudah berpuasa tasu'a menjadi tiga hari (Kamis, Jumat, Sabtu)
wallohu a'lam bishshowwab

Selasa, 20 Oktober 2015

BERPUASA BERSAMA PEMERINTAH
~Bimbingan al-Ustadz Qamar hafizhahullah Ta'ala~

Bagaimana sikap kita terhadap pemerintah yang menetapkan tanggal hijriah dengan hisab?
Kami (sebagian pengajar di ma'had Minhajus Sunnah) bertanya kepada ustadz Qamar hafizhahullah Ta'ala pada hari Senin 6 Muharram 1437 H di maktabah.

Afwan Ustadz, kapan kita melaksanakan puasa Asyura? Bagaimana sikap kita yang benar?

Beliau menjawab:
"Kita ikut pemerintah RI."

Penanya:
"Pemerintah RI tidak berdasarkan rukyatul hilal. Pemerintah Saudi mengumumkan bahwa tanggal 1 Muharram 1437 H jatuh pada hari Kamis berdasarkan penggenapan bulan karena hilal tidak terlihat. Sementara pemeritah RI menetapkan bahwa tanggal 1 Muharram jatuh pada hari Rabu berdasarkan hisab."

Ustadz:
"Iya. Kita ikut pemerintah.

فإن أصابوا فلكم ولهم. وإن أخطأوا فلكم وعليهم.
"Jika mereka benar, pahalanya bagi kita dan mereka. Dan jika mereka salah, pahalanya bagi kita namun dosanya mereka tanggung."
Dalam menentukan bulan Ramadhan, kita ikut pemerintah. Ini adalah ibadah yang wajib.
Apalagi puasa Asyura adalah sunah. Sehingga kita berpuasa Asyura pada hari Jum'at (dan Tasu'a pada hari Kamis)."

Selasa, 7 Muharram 1437 H
Pon. Pes. Minhajus Sunnah Magelang
————————————————————————————————
WA KITASATU
Forum Salafy Banjarnegara
WA Ahlussunnah Jakut

NB:
Tanggal 10 Muharram 1437 H di Indonesia jatuh pada hari Jumat, 23 Oktober 2015.

Senin, 19 Oktober 2015

Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim alu asy-Syaikh rahimahullah berkata,
"Semua yang disebutkan tentang amalan-amalan para hari 'Asyura selain puasa, maka itu TIDAK ADA ASALNYA (dalam syari'at) bahkan itu adalah BID'AH. Seperti bercelak untuk kedua mata. Demikian juga hadits-hadits yang disebutkan seperti memberikan keluasan untuk keluarga, maka itu batil tidak ada yang shahih.

Pada hari 'Asyura ini ada dua kelompok yang saling bertolak belakang,
1) Rafidhah (Syi'ah), mereka menjadikan hari 'Asyura dan hari sebelumnya sebagai hari berkabung.
2) Nawashib, mereka menjadikannya sebagai hari Raya, yang disebut sebagai Idul 'Umur.

Adapun Ahlus Sunnah, maka tidak memandang seperti kelompok pertama maupun kelompok kedua, dan tidak mengkhususkan hari tersebut kecuali dengan ibadah puasa."
(Syarh Kitab Adabul Masyi ila ash-Shalat)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
"Sebagaimana disebutkan tentang keutamaan-keutamaan 'Asyura :
▪ memberikan keluasan untuk keluarga,
▪ keutamaan berjabat tangan,
▪ keutamaan inai (pacar)
▪ keutamaan bersemir
▪ keutamaan mandi, dan semisal itu
serta apa yang disebutkan tentang keutamaan shalat pada hari tersebut, Maka semua itu adalah DUSTA atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada satu pun dalil yang sah terkait dengan keutamaan 'Asyura kecuali keutamaan puasa pada hari tersebut.

Harb al-Kirmani mengatakan, "Hadits yang diriwayatkan bahwa barangsiapa yang melapangkan untuk keluarganya pada Hari 'Asyura, akan Allah luaskan untuknya sepanjang tahun.
Al-Imam Ahmad menjawab, "Hadits tersebut tidak ada asalnya."
[Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata,
"Adapun yang diriwayatkan tentang
▪ bercelak pada hari 'Asyura, atau
▪ semir, atau
▪ mandi, atau
▪ berjabat tangan, atau
▪ MENGUSAP KEPALA ANAK YATIM, atau
▪ memakan biji-bijian, atau
▪ menyembelih, atau semisalnya
Maka ITU SEMUA DUSTA atas nama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang seperti itu adalah BID'AH, tidak satupun disukai oleh para imam dalam agama.

Adapun yang dilakukan oleh Ahlul Bid'ah (yakni Syi'ah Rafidhah, pen)  yaitu Niyahah (meratapi kematian), memanggil-manggil orang yang sudah mati, perkumpulan-perkumpulan acara, mencela shahabat, itu semua juga di antara BID'AH dan KEMUNGKARAN YANG TERBESAR. Dan semua bid'ah itu sesat. Meskipun sebagian bid'ah dan kemunkaran itu lebih berat daripada yang lainnya.
[ al-Fatawa al-Kubra (5/479)

WA Majmu'ah Manhajul Anbiya
PUASA (Shaum) 'ASYURA ...Kapan?
tanggal 10 Muharram saja, 9 dan 10 Muharram, 10 dan11 Muharram, atau 9,10,11 Muharram??

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata :
“Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada kita untuk bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.
*Bershaum pada hari ke-9 dan ke-10, ini yang PALING UTAMA.
*Kalau bershaum pada hari ke-10 dan 11 maka itu sudah MENCUKUPI, karena (dengan cara itu sudah) menyelisihi Yahudi.
*Kalau bershaum semuanya bersama hari ke-10 (yaitu 9, 10, dan 11) maka TIDAK MENGAPA. Berdasarkan sebagian riwayat : “Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.”
*Adapun bershaum pada hari ke-10 saja maka MAKRUH.” [Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah XV/403, fatwa no. 158]

Jadi, yang paling utama adalah shaum hari ke-9 dan ke-10.

Namun, para ‘ulama lainnya ada yang berpendapat bahwa yang paling utama adalah bershaum tiga hari, yaitu 9, 10, dan 11 Muharram. Ini merupakan pendapat :
Ibnul Qayyim (dalam Zadul Ma’ad II/76), dan Al-Hafizh (dalam Fathul Bari).

Pendapat ini dikuatkan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata :

“Shaum ‘Asyura` memiliki empat tingkatan :
1. Tingkat Pertama :
bershaum pada tanggal 9, 10, dan 11. Ini merupakan tingkatan tertinggi. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad : Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Selisihilah kaum Yahudi.” Dan karena seorang jika ia bershaum (pada) 3 hari (tersebut), maka ia sekaligus memperoleh keutamaan shaum 3 hari setiap bulan.
2. Tingkat Kedua :
bershaum pada tanggal 9 dan 10. Berdasarkan sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam : “Kalau saya hidup sampai tahun depan, niscaya aku bershaum pada hari ke-9.” Ini beliau ucapkan ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi juga bershaum pada hari ke-10, dan beliau suka untuk berbeda dengan kaum Yahudi, bahkan dengan semua orang kafir.
3. Tingkat Ketiga :
bershaum pada tanggal 10 dan 11.
4. Tingkat Keempat :
bershaum pada tanggal 10 saja. Di antara ‘ulama ada yang berpendapat hukumnya mubah, namun ada juga yang berpendapat hukumnya makruh.

▪ Yang berpendapat hukumnya MUBAH berdalil dengan keumuman sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shaum ‘Asyura`, maka beliau menjawab “Saya berharap kepada Allah bahwa shaum tersebut menghapuskan dosa setahun sebelumnya.” Beliau tidak menyebutkan hari ke-9.
▪ Sementara yang berpendapat hukumnya MAKRUH berdalil dengan sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam : “Selisihilah kaum Yahudi. Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” Dalam lafazh lain,“Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.” Sabda beliau ini berkonsekuensi wajibnya menambahkan satu hari dalam rangka menyelisihi (kaum Yahudi), atau minimalnya menunjukkan makruh menyendirikan shaum pada hari itu (hari ke-10) saja. Pendapat yang menyatakan makruh menyendirikan shaum pada hari itu saja merupakan pendapat yang kuat.
[Liqa`at Babil Maftuh]

Sementara itu, ketika Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`ditanya apakah boleh melaksanakan shaum ‘Asyura` satu hari saja? Maka lembaga tersebut menjawab :

“BOLEH melaksanakan shaum hari ‘Asyura` satu hari saja.
Namun yang AFDHAL (lebih utama) adalah bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Ini merupakan sunnah yang pasti dari Nabi shalallahu’alaihi wa sallam berdasarkan sabda beliau “Kalau saya masih hidup hingga tahun depan, niscaya aku akan bershaum pada hari ke-9.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata : “Yakni bersama hari ke-10.”
Wabillahit Taufiq. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa Shahbihi wa Sallam.


Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

[dari Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil 'Ilmiyyah wal Ifta` X/401, fatwa no. 13.700]

baca selengkapnya di http://www.manhajul-anbiya.net/shaum-asyura-hukum-keutamaan-sejarah-dan-cara-pelaksanaannya/

WA Majmu'ah Manhajul Anbiya

Jumat, 16 Oktober 2015


repost file lama

بسم اللـــه الــــــرحمن الــــــــرحيم

Ringkasan Nasehat Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dalam kesempatan jalsah (pertemuan) bersama para du’at Indonesia, di rumah beliau di daerah Al-’awali Makkah Al-Mukarramah, Ramadhan 1433 H.

1). Tentang Meninggalkan Sebab-Sebab Perselisihan
Beliau menasehatkan untuk meninggalkan semua sebab yang mengantarkan pada perselisihan (Khilaf), dan menasehatkan untuk berlemah- lembut, menjaga lisan, dan saling berukhuwwah serta saling merekatkan hati.
Juga senantiasa waspada dari syaithan yang berupaya menimbulkan perpecahan antar salafiyyin.

2). Tentang Radio Rodja
[a] Asy-Syaikh Rabi’ ~hafidzahullaah~ berkata:
“Barangsiapa yang masih menghormati manhaj dan aqidahnya maka hendaknya dia tidak mendengar mereka (radio Rodja), adapun barangsiapa yang tidak menghormati manhaj dan aqidahnya, maka silakan dia mendengarkannya.”

[b] Asy-Syaikh Rabi’ ~hafidzahullaah~ berkata:
“Aku nasehatkan kepada ikhwah agar menjauhkan diri dari mendengarkan Radio Rodja.”

[c] Kemudian beliau (Asy-Syaikh Rabi’) mengingatkan kami dengan atsar dari Ayyub as-Sakhtiyani dan Muhammad bin Sirin tentang sikap tidak mau mendengar ucapan ahlul bid’ah, yaitu tatkala ada seorang ahlul bid’ah mengatakan kepadanya, “Aku akan bacakan kepadamu satu ayat.” Maka keduanya menjawab, “Tidak.”

[d] Kitab-kitab salaf sudah mencukupi kita dari mendengarkan radio Rodja dan segala isinya.

[e] Radio Rodja menyebabkan terjadinya perselisihan antar salafiyyin. maka beliau memerintahkan untuk meninggalkannya.

[f] Ihyaut Turats, ‘Ali Hasan, dan Abul Hasan, adalah di antara pihak-pihak yang paling keras permusuhannya terhadap ahlus sunnah.

[g] Orang-orang awam TETAP HARUS diperingatkan dari bahaya radio Rodja. Karena salaf dulu juga mentahdzir orang awam dari bahaya Ahlul Bid’ah.

3). Tentang Yazid Abdul Qadir Jawwas, salah satu tokoh besar Rodja
Asy-Syaikh Rabi’ menyatakan bahwa Yazid hanya sekedar memakai baju salafiyyah. Beliau tidak ridho kalau dikatakan Yazid adalah salafi, ataupun salafi goncang.

4). Tentang Turut Andilnya Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq di radio Rodja
Asy-Syaikh Rabi’ menegaskan bahwa hal ini tidaklah menjadi justifikasi (pembenaran) untuk mendengarkan Rodja. Kata beliau, Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq tertipu dengan mereka (para turatsiyyin).

5). Tentang Para Pengisi di Radio Rodja
Ketika disebutkan, bahwa para pengisi Rodja menetapkan manhaj salaf, maka Asy-Syaikh Rabi’ menjelaskan bahwa urusan mentabdi’ seseorang tidak mesti bahwa semua yang ada pada diri si mubtadi‘ bertentangan dengan manhaj salaf, dan kondisinya jelas seratus persen ibarat matahari seperti Safar, Salman, ‘Ali Hasan, dan Abul Hasan.
Ya’qub bin Syaibah dibid’ahkan oleh para ‘ulama hanya karena satu perkara. Seseorang terkadang keluar dari salafiyyah karena satu perkara!!

6). Mencari/meneliti Kesalahan Orang Lain
Kesalahan apabila sudah tersebar, maka tidak boleh didiamkan.
Asy-Syaikh Rabi’ mengatakan:
“Seorang yang salah wajib dinasehati. Yang salah wajib untuk segera rujuk dengan mudah. Dulu ‘Umar bin Al-Khaththab seorang yang waqqaf (tunduk) dengan Kitabullah.
Jadilah kalian orang-orang yang waqqaf terhadap Kitabullah. Seorang mukmin itu lunak dan mudah (kembali kepada Al-haq).”

7). Ja'far Umar Thalib
Ketika ada yang mengatakan kepada Asy-Syaikh Rabi’, bahwa sebagian ikhwah menutup pintu taubat bagi Ja’far ‘Umar Thalib, maka Asy-Syaikh Rabi’ menyebutkan sebuah hadits tentang Khawarij:

 يَخرُجُونَ مِنَ الدِّينِ ثُمَّ لاَ يَعُودُونَ إِلَيْهِ
"Mereka keluar dari agama, kemudian tidak kembali lagi padanya".

Kemudian beliau (Asy-Syaikh Rabi’) berkata,
“Aku telah menasehatinya, aku telah menasehatinya, aku telah menasehatinya, dan aku tidak berharap lagi.”

Naskah Kesimpulan tersebut dibacakan oleh Asy-Syaikh Khalid azh-Zhafiri di hadapan Asy-Syaikh Rabi’, dan beliau pun menyetujuinya.

Sumber:  http://goo.gl/xEeoW2

____________________
 مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد
✆ WA Forum Berbagi Faidah [FBF]  | www.alfawaaid.net

Rabu, 14 Oktober 2015

MEWASPADAI BAHAYA GERAKAN SYI'AH -KAUM PENDUSTA DAN PENYESAT UMAT
Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi

Permasalahan Syiah, sungguh tak bisa dipisahkan dari agama. Bahkan, sangat bersentuhan dengan akidah yang merupakan fondasi agama. Maka dari itu, cara menilainya pun harus dengan timbangan agama. Hal-hal lain terkait dengan hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat harus disesuaikan dengannya. Lantas, bagaimanakah penilaian agama tentang Syiah?

Penilaian agama tentang Syiah sebenarnya sudah final. Para ulama yang mulia, sejak dahulu sudah melakukan kajian yang panjang dan cermat tentang Syiah. Hasilnya, Syiah adalah kelompok sesat yang telah menyimpang dari kebenaran. Mereka berambisi untuk menghancurkan Islam dengan cara menghujat al-Qur’an, menjatuhkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengafirkan para sahabat beliau yang mulia. Mereka beragama dengan perkataan dusta dan persaksian palsu (taqiyah). Simaklah keterangan para ulama berikut ini.

1. Al-Imam Amir asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syiah.” (as-Sunnah karya Abdullah bin al-Imam Ahmad 2/549)

2. Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah ketika ditanya tentang seseorang yang mencela Abu Bakr dan Umar (yakni Syiah, pen.) berkata, “Ia telah kafir kepada Allah Subhanahu wata’ala.” Kemudian ditanya, “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata, “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala karya al-Imam adz-Dzahabi 7/253)

3. Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menjatuhkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam namun tidak mampu. Akhirnya, mereka mencela para sahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa beliau (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam) seorang yang jahat. Sebab, kalau memang beliau orang saleh, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang saleh.” (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimirrasul karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 580)

4. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah (Syiah) dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal karya al-Imam adz-Dzahabi 2/27—28)

5. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, Umar, dan Aisyah ) itu orang Islam.” (as- Sunnah karya al-Khallal 1/493)

6. Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, “Bagiku sama saja shalat di belakang Jahmi (seorang penganut akidah Jahmiyah) dan Rafidhi (Syiah) atau di belakang Yahudi dan Kristen. Mereka tidak boleh diberi salam, tidak boleh pula dikunjungi ketika sakit, dinikahkan, dijadikan saksi, dan dimakan sembelihannya.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hlm. 125)

Bisa jadi, Anda berkata, “Itu kan versi ulama Sunni! Bagaimanakah keterangan ulama ahlul bait tentang mereka?” Baiklah, kalau begitu simaklah keterangan berikut ini.

1. Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berdoa, “Ya Allah, aku telah bosan dengan mereka (Syiah) dan mereka pun telah bosan denganku. Maka dari itu, gantikanlah untukku orang-orang yang lebih baik dari mereka, dan gantikan untuk mereka seorang yang lebih jelek dariku…” (Nahjul Balaghah, hlm. 66—67, dinukil dari asy-Syiah wa Ahlul Bait karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 300)

2. Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Demi Allah! Menurutku, Mu’awiyah lebih baik daripada orang-orang yang mengaku sebagai Syiah-ku, mereka berupaya untuk membunuhku dan mengambil hartaku.” (al-Ihtijaj, karya ath-Thabrisi hlm. 148, dinukil dari asy-Syiah Wa Ahlul Baitkarya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 300)

3. Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu berdoa, “Ya Allah, jika Engkau memberi mereka (Syiah) kehidupan hingga saat ini, porakporandakan mereka dan jadikan mereka berkeping-keping. Janganlah Engkau jadikan para pemimpin (yang ada) ridha kepada mereka (Syiah) selama-lamanya. Sebab, kami diminta untuk membantu mereka, namun akhirnya mereka justru memusuhi kami dan menjadi sebab terbunuhnya kami.” (al-Irsyad, karya al-Mufid hlm. 341, dinukil dari asy- Syiah wa Ahlul Baitkarya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 302)

4. Al-Imam Ali bin Husain Zainal Abidin rahimahullah berkata, “Mereka (Syiah) bukan dari kami, dan kami pun bukan dari mereka.” (Rijalul Kisysyi, hlm. 111, dinukil dari asy-Syiah wa Ahlul Bait karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 303)

5. Al-Imam Muhammad al-Baqir rahimahullah berkata, “Seandainya semua manusia ini Syiah, niscaya tiga perempatnya adalah orang-orang yang ragu dengan kami, dan seperempatnya adalah orang-orang dungu.” (Rijalul Kisysyi, hlm. 179, dinukil dari asy-Syiah wa Ahlul Bait karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 303)

6. Al-Imam Ja’far ash-Shadiq rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala berlepas diri dari orang-orang yang membenci Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala’ karya al-Imam adz-Dzahabi 6/260)

Bisa jadi, Anda heran terhadap kesimpulan para ulama terkemuka di atas. Sejauh itukah kesimpulan mereka? Apa yang melandasi berbagai kesimpulan itu? Mengapa Syiah bisa seperti itu? Dan berbagai pertanyaan lainnya yang menggelitik di hati Anda. Jawaban ringkasnya, karena Syiah adalah sekte (baca: agama) tersendiri yang sangat bertolak belakang dengan Islam. Mengapa demikian? Untuk lebih jelasnya ikutilah pembahasan berikut ini. 

KEDEKATAN SYI'AH DAN YAHUDI
Syiah sangat dekat dengan Yahudi. Kedekatan itu setidaknya dalam dua hal yang sangat prinsip:
1. Pendirinya
2. Prinsip keyakinannya (akidahnya).

Pendiri agama Syiah adalah seorang peranakan Yahudi kota Shan’a, Yaman. Dia bernama Abdullah bin Saba’ al- Yahudi al-Himyari.  Ibunya seorang wanita yang berkulit hitam, sehingga dikenal pula dengan sebutan Ibnu Sauda’ (putra seorang wanita yang berkulit hitam). Layaknya keumuman bangsa Yahudi, Abdullah bin Saba’ berkarakter buruk, licik, dan penuh makar terhadap Islam dan umat Islam. Dia menyusup di tengah-tengah umat Islam untuk merusak tatanan agama dan masyarakat. Awal kemunculannya di akhir masa Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk (giat beribadah) dia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya akidah sesat yang dia tebarkan di tengah umat, gerakan provokasi massa pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu hingga terbunuhlah beliau.

Di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia menampakkan kecintaan dan loyalitas yang tinggi terhadap sang Khalifah dan ahlul bait. Dia dan komplotannya menamakan diri sebagai syi’atu Ali (para pengikut Ali). Dengan kedok kecintaan dan loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan ahlul bait itulah agama Syiah terus menggurita di tengah umat.
(Lihat Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 8/479, Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyyah karya al-Imam Ibnu Abil ‘Iz, hlm. 490, dan Kitab at-Tauhid karya asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, hlm. 123)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan, “Para ulama menyebutkan bahwa latar belakang Rafidah (Syiah) adalah dari seorang zindiq (Abdullah bin Saba’) yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan identitas Yahudinya. Dia berupaya merusak Islam sebagaimana Paulus (seorang Yahudi, -pen.) yang menampakkan diri sebagai seorang kristiani untuk merusak agama Kristen.” (Majmu’ Fatawa 28/483)

Adapun prinsip keyakinan (akidah) Syiah, banyak kesamaannya dengan prinsip keyakinan (akidah) Yahudi. Hal ini tentu tidak aneh, sebab pendirinya adalah seorang Yahudi. Di antara prinsip keyakinan (akidah) mereka yang sama dengan Yahudi adalah sebagai berikut.
  • Tentang washiy
Washiy adalah seseorang yang mendapat wasiat untuk melanjutkan tugas atau misi si pemberi wasiat. Dalam agama Yahudi, adanya washiy adalah satu keharusan. Demikian pula dalam agama Syiah. Kalau washiy dalam agama Yahudi adalah Yusya’ bin Nun yang didaulat sebagai pengganti Nabi Musa ‘Alaihissalam, maka washiy dalam agama Syiah adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhusebagai pengganti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi, dalam prinsip keyakinan (akidah) Syiah, para khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib rahimahullah, yaitu Abu Bakr, Umar, dan Utsman rodhiyallohu'anhum adalah perampas kekuasaan dan mereka telah kafir.
(Untuk lebih rincinya, silakan lihatBadzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 1/169—197)

  • Tentang kepemimpinan umat
Dalam agama Yahudi, kepemimpinan umat hanya berada pada keturunan Nabi Dawud ‘alaihissalam. Dalam agama Syiah, kepemimpinan umat hanya berada pada keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalibradhiyallahu ‘anhu. Demikianlah kondisi 12 imam mereka yang diyakini ma’shum (terlindungi dari dosa), termasuk Imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman. Dalam pandangan Islam, Imam Mahdi adalah keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, bukan keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma.
(Untuk lebih rincinya, silakan lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 1/201—224)
  • Tentang raj’ah
Raj’ah adalah hidup kembali setelah mati sebelum hari kiamat. Dalam agama Yahudi, orang yang sudah mati dapat hidup kembali. Demikian pula menurut agama Syiah. Mereka meyakini bahwa orang-orang yang sudah mati dan tinggi keimanannya akan dihidupkan kembali di masa Imam Mahdi (akhir zaman) untuk dimuliakan. Demikian pula orang-orang yang sudah mati dan tinggi tingkat kejahatannya akan dihidupkan kembali untuk dihinakan.
(Untuk lebih rincinya, silakan lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 1/275—312)
  • Tentang al-bada’
Al-bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Dalam agama Yahudi, al-bada’terjadi pada Allah Subhanahu wata’ala. Demikian pula menurut agama Syiah. Bahkan, mereka menjadikannya bagian dari tauhid. Berbeda halnya dengan agama Islam, ilmu Allah Subhanahu wata’ala sangat luas, tak dibatasi oleh sesuatu pun. Ilmu Allah Subhanahu wata’ala bersifat azali (tak bermula dan berakhir). Tidak ada sesuatu pun yang terluput dari ilmu- Nya.
(Untuk lebih rincinya, silakan lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al- Jumaili 1/317—352)
  • Tentang mengubah Kitab Suci
Mengubah Kitab Suci adalah sifat tercela yang melekat pada ulama Yahudi, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam banyak ayat-Nya. Demikian pula halnya dengan kaum Syiah. Mereka mengubah al-Qur’an hingga berlipat jumlah ayatnya. Anehnya, mereka mengklaim bahwa al-Qur’an yang ada di tangan umat Islamlah yang telah mengalami pengubahan. Wallahul musta’an.
(Lebih lanjut, lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 1/355—438)
  • Tentang kecintaan dan kebencian
Kaum Yahudi berlebihan dalam hal mencintai sebagian nabi mereka dan membenci sebagian yang lainnya. Demikian pula sikap mereka terhadap para ulama yang membimbing mereka. Kaum Syiah tak jauh berbeda. Mereka berlebihan mencintai para imam mereka, bahkan memosisikan mereka di atas para malaikat dan para nabi. Di sisi lain, mereka membenci para sahabat , bahkan mengafirkan mereka.
(Lebih lanjut, lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 2/443—513)
  • Tentang pengagungan diri mereka
Kaum Yahudi meyakini bahwa mereka adalah manusia terbaik, bahkan mereka mengklaim sebagai anak-anak Allah Subhanahu wata’ala dan lebih mulia dari para malaikat. Demikian pula halnya dengan kaum Syiah. Mereka mengklaim sebagai orang-orang pilihan Allah Subhanahu wata’ala dan lebih mulia dari para malaikat.
Kaum Yahudi mengklaim bahwa merekalah manusia yang seutuhnya, sedangkan selain mereka hina dina. Demikian pula halnya dengan kaum Syiah, mereka mengklaim sebagai manusia yang seutuhnya, sedangkan selain mereka hina dina.
(Lebih lanjut, lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 2/517—554)
  • Tentang pengafiran selain mereka
Kaum Yahudi memvonis selain mereka sebagai orang kafir, halal darah dan hartanya. Demikian pula halnya kaum Syiah, memvonis selain mereka sebagai orang kafir, halal darah dan hartanya.
(Lebih lanjut, lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 2/559—597)
  • Tentang kedustaan yang ada pada mereka
Sifat dusta sudah menjadi karakter kaum Yahudi, baik dalam kehidupan beragama maupun keseharian. Tak beda jauh dengan kaum Syiah, mereka menjalankan kehidupan beragama dengan kedustaan yang mereka sebut dengan taqiyah. Oleh karena itu, al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah (Syiah) dalam hal persaksian palsu"
(Untuk lebih rincinya, silakan lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al Jumaili 2/631—669)

Patut dicatat di sini bahwa semua yang telah disebutkan tentang kesamaan agama Syiah dengan agama Yahudi di atas, tak didapati pada umat Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebab, mereka meyakini kewajiban menyelisihi kaum Yahudi dalam kehidupan ini, baik dalam hal akidah, ibadah, akhlak, adab, dan muamalah. Anehnya, seiring dengan banyaknya kesamaan antara agama Syiah dengan agama Yahudi, sebanyak itu pula perbedaannya dengan agama Islam. Perbedaan itu bukan dalam hal yang kecil, melainkan dalam hal mendasar yang merupakan prinsip dalam kehidupan beragama.
Cobalah perhatikan! Al-Qur’an mereka berbeda dengan al-Qur’an umat Islam, azan dan iqamat mereka berbeda dengan azan dan iqamat umat Islam, tata cara berwudhu mereka berbeda dengan tata cara berwudhu umat Islam, kaifiyah shalat mereka berbeda dengan kaifiyah shalat umat Islam, dan hari wukuf mereka di Arafah (ketika berhaji) pun berbeda dengan hari wukuf umat Islam.

Syiah Merobohkan Tiga Pilar Utama Umat Islam
Ada tiga pilar utama dalam agama Islam. Tanpa ketiganya agama seseorang menjadi rapuh dan sekejap akan runtuh. Tiga pilar utama itu adalah al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, dan pemahaman para sahabat (salaful ummah). Bagaimanakah upaya Syiah merobohkan tiga pilar itu?

~> Al-Qur’an yang merupakan Kitab Suci umat Islam tak lagi dianggap suci oleh mereka, bahkan tidak sah dan kurang dari yang aslinya. Disebutkan dalam kitab al-Kafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih al-Bukhari di sisi kaum muslimin) karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini (2/634) dari Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq), dia berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam itu (ada) 17.000 ayat.”

Disebutkan juga dari Abu Abdillah ( 1 / 2 3 9 — 2 4 0 ) , dia berkata , “Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fatimah ‘alaihas salam, mereka tidak tahu apa mushaf Fatimah itu.” Abu Bashir bertanya, “Apa mushaf Fatimah itu?” Dia (Abu Abdillah) berkata, “Mushaf yang isinya tiga kali lipat dari yang ada di mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari al-Qur’an kalian.” (Dinukil dari kitab asy-Syiah wal Qur’an karya Dr. Ihsan Ilahi zhahir, hlm. 31—32)

Bahkan, salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad at-Taqi an-Nuri ath- Thabrisi dalam kitabnya Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab mengumpulkan berbagai riwayat dari para imam mereka yang diyakini ma’shum (terjaga dari dosa), bahwa al-Qur’an yang ada di tangan umat Islam itu telah terjadi pengubahan dan penyimpangan. Adapun terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mereka merobohkannya dengan berbagai cara. Di antaranya:

1. Mengklaim bahwa para istri Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pelacur, agar timbul kesan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang tidak baik, sehingga sunnahnya tak bisa diamalkan. Disebutkan dalam kitab mereka, Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal, karya ath-Thusi (hlm. 57—60), dinukilkan (secara dusta) perkataan sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma terhadap Ummul Mukminin Aisyah, “Kamu tidak lain adalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha, hlm. 11)

2. Mengafirkan para sahabat kecuali beberapa orang saja dari mereka. Tentu saja, dengan dikafirkannya para sahabat berarti gugur pula semua Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan melalui mereka. Disebutkan dalam kitab mereka Rijalul Kisysyi (hlm. 12—13) dari Abu Ja’far Muhammad al-Baqir, dia berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan murtad kecuali tiga orang.” Aku (perawi) berkata, “Siapa tiga orang itu?” Dia (Abu Ja’far) berkata, “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi….” kemudian dia menyebutkan surat Ali Imran ayat 144.
(Dinukil dari asy- Syiah al-Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyyah fi Mizanil Islam, hlm. 89)

Adapun sahabat Abu Bakr ash- Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, dua manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka cela dan laknat. Bahkan, mereka berlepas diri dari keduanya adalah bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan doa mereka (Miftahul Jinan, hlm. 114), wirid laknat untuk keduanya:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ، وَالْعَنْ صَنَمَيْ قُرَيْشٍ وَجِبْتَيْهِمَا وَطَاغُوْتَيْهِمَا وَابْنَتَيْهِمَا
“Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka…. (yang dimaksud adalah Ummul Mukminin Aisyah dan Hafshah).”
(Dinukil dari kitab al-Khuthuth al- ‘Aridhah karya as-Sayyid Muhibbuddin al-Khatib, hlm. 18)

Oleh karena itu, al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,
“Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menjatuhkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, namun tidak mampu. Akhirnya, mereka mencela para sahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa beliau (Nabi Muhammad) adalah seorang yang jahat. Sebab, kalau memang beliau orang saleh, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang saleh.”
(ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 580)

Dengan robohnya pilar kepercayaan kepada para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, akan roboh pula pilar kepercayaan kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah berkata, “Jika engkau melihat orang yang mencela salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ketahuilah bahwa ia zindiq (seorang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran). Sebab, Rasul bagi kita adalah haq dan al-Qur’an adalah haq. Sesungguhnya yang menyampaikan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mencela para saksi kita (para sahabat) dengan tujuan untuk meniadakan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka (Syiah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah orang-orang zindiq.” (al-Kifayah karya al-Khathib al-Baghdadi, hlm. 49)

Lebih dari itu, dengan robohnya pilar kepercayaan kepada para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, siapa pun akan kesulitan untuk memahami agama Islam dengan baik dan benar. Sebab, melalui merekalah ilmu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diwariskan dan melalui mereka pula pemahaman yang benar tentang agama ini didapatkan. Tanpa itu, kesesatanlah kesudahannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
(an-Nisa’: 115)

Al-Imam Ibnu Abi Jamrah al- Andalusi rahimahullah berkata, “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah Subhanahu wata’ala (di atas) bahwa yang dimaksud orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi pertama dari umat ini.”
(al-Marqat fi Nahjis Salaf Sabilun Najah, hlm. 36—37)

Pengkhianatan Syiah Terhadap Umat Islam
Syiah tercatat kerap melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam. Mereka telah berkhianat terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Khalifah Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, dan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma.
(Lihat ungkapan kekecewaan mereka pada pembahasan sebelumnya)

Sejarah pun mencatat bahwa runtuhnya Daulah Abbasiyah (tahun 656 H) yang mengendalikan kepemimpinan umat Islam dalam skala internasional, adalah karena pengkhianatan sang Perdana Menteri, Muhammad Ibnul Alqami, yang beragama Syiah. Akibatnya, Khalifah Abdullah bin Manshur yang bergelar al-Musta’shim Billah dan para pejabat pentingnya tewas mengenaskan dibantai oleh pasukan Tartar yang dipimpin oleh Hulaghu Khan.

Kota Baghdad (ibu kota Daulah Abbasiyah) porak-poranda. Kebakaran terjadi di mana-mana. Umat Islam yang tinggal di Kota Baghdad dibantai secara massal; tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, orang awam, dan ulama. Selama 40 hari pembantaian terus menerus terjadi. Kota Baghdad bersimbah darah. Tumpukan mayat umat Islam berserakan di mana-mana. Bau mayat yang sudah membusuk semakin menambah duka nestapa. Nyaris sungai Tigris menjadi merah karena simbahan darah umat Islam. Sementara itu, sungai Dajlah nyaris menjadi hitam karena lunturan tinta kitab-kitab berharga umat Islam yang mereka buang ke dalamnya. Wallahul musta’an.
(Untuk lebih rincinya, silakan membaca al- Bidayah wan Nihayah karya al-Imam Ibnu Katsir, 13/200—211, Tarikhul Islam wa Wafayatul Masyahir wal A’lam karya al-Imam adz-Dzahabi 48/33—40, dan Tarikhul Khulafa’karya al-Imam as-Suyuthi, hlm. 325—335)

Demikianlah sekelumit tentang agama Syiah, kesesatan, kejahatan, dan bahayanya terhadap umat Islam. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran.
Amin….

Sumber : Majalah AsySyariah Edisi 91

Ikut Andilah menyebarkan artikel ini, semoga Allah membalas anda dengan balasan yang terbaik
WhatsApp Salafy Indonesia

Minggu, 11 Oktober 2015

bahteraku-13
Al-Ustadzah Ummu Luqman Salma

Pada dua edisi berturut-turut sebelum ini, kami telah membahas sebagian hak suami atas istri. Sungguh, perkara tersebut adalah perkara yang agung. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam telah menerangkan keagungannya dengan sabda beliau yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan selainnya, dari hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu,
حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَتْ فِيْهِ قَرْحَةٌ فَلَحِسَتْهَا مَا أَدَّتْ حَقَّهُ
Hak suami atas istrinya adalah andaikan pada sang suami ada luka bernanah lalu sang istri menjilatinya, dia belum menunaikan hak suaminya. (Shahihul Jami’ no. 3148)
Wanita cerdas tentu akan mengagungkan perkara yang diagungkan oleh Allah dan Rasul-Nya, karena mengharapkan jannah yang kekal nan penuh kenikmatan.
Pada edisi kali ini kami sebutkan hak-hak suami yang lain sebagai berikut. 


  • Istri wajib menjaga kehormatan suami, mempertahankan kemuliaannya, dan mengatur harta, anak, dan seluruh urusan rumah sang suami.
Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala ,
فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ
“Wanita-wanita salihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka).” (an-Nisa’: 34)
Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam ,
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (Shahihul Jami’ no. 4534, an-Nasa’i dalam al-‘Isyrah, dan lain-lain)
  • Hendaknya istri berhias dan mempercantik diri untuk suami, senantiasa berwajah ceria di hadapan suami, tidak bermuka masam, dan tidak tampil dalam bentuk yang tidak disukai suami.
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
خَيْرُ النِّسَاءِ مَنْ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ، وَتُطِيعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، وَتَحْفَظُ غَيْبَتَكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Sebaik-baik istri adalah yang menyenangkanmu jika engkau pandang, menaatimu jika engkau perintah, dan menjaga dirinya serta hartamu saat engkau tidak ada.” (Shahihul Jami’ no. 3299)
  • Hendaknya istri tidak mengungkit-ungkit harta yang pernah ia keluarkan di rumah sang suami dan untuk keluarganya, karena hal itu akan menggugurkan pahala infak/sedekah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُبۡطِلُواْ صَدَقَٰتِكُم بِٱلۡمَنِّ وَٱلۡأَذَىٰ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan (pahala) sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (al-Baqarah: 264)
  • Hendaknya istri mendidik anak-anak suaminya dengan baik dan penuh kesabaran.
Jangan sampai ia memarahi anak-anaknya di hadapan suami, mendoakan mereka dengan kejelekan, dan mencaci maki mereka. Sebab, terkadang hal itu menyakiti hati suami. Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda,
لَا تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ: لَا تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ، فَإِنَّمَا هُوَ دَخِيلٌ عِنْدَكِ، يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan bidadari mengatakan, ‘Jangan sakiti dia, semoga Allah memerangimu. Sesungguhnya dia hanyalah tamu yang singgah di sisimu dan hampir meninggalkanmu menuju kami’.” (HR. at-Tirmidzi)
  • Hendaknya istri memperbagus pergaulan terhadap kedua orang tua dan kerabat-kerabat suami.
Istri yang buruk pergaulannya terhadap orang tua dan kerabat suami belum bisa dikatakan mempergauli suaminya dengan baik.
  • Hendaknya istri menyimpan rahasia suami dan rahasia rumahnya, jangan menyebarkannya sedikit pun.
Di antara rahasia berbahaya yang para wanita bermudah-mudah untuk menyiarkannya adalah urusan ranjang dan hal-hal yang terjadi antara suami dan istri, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam sungguh telah melarang hal tersebut.

Dari Asma’ bintu Yazid radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia pernah berada di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam , sedangkan para pria dan wanita tengah duduk-duduk.
Beliau shalallahu'alaihiwasallam bersabda, “Barangkali ada pria yang menceritakan apa yang dilakukannya bersama istrinya, dan barangkali ada wanita yang menceritakan apa yang dilakukannya bersama suaminya.” Orang-orang pun terdiam.
Aku (Asma’) pun berkata, “Benar, demi Allah, wahai Rasulullah. Sesungguhnya mereka (para wanita) melakukannya, dan sesungguhnya mereka (para pria) melakukannya pula.”
Beliau bersabda, “Janganlah kalian melakukannya, karena permisalan hal itu adalah sebagaimana setan laki-laki yang bertemu setan perempuan di jalan lalu menggaulinya dalam keadaan dilihat orang-orang.” (Shahih, lihat Adabuz Zifaf hlm. 72)
  • Hendaknya istri bersemangat hidup bersama suaminya, menjaga kebersamaan hidup dengannya, dan tidak meminta cerai tanpa sebab.
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Perempuan mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab, haram baginya bau surga.” (Shahih, lihat al-Irwa’ no. 2035)

Demikianlah tugas-tugas istri di dalam rumah tangganya. Hendaknya para istri bersungguh-sungguh mengerjakannya tanpa perlu menoleh pada kekurangan-kekurangan suami. Jika suami adalah pria yang baik, niscaya ia akan mempergauli istrinya dengan penuh kebaikan. Namun, jika Allah menakdirkan sang suami tidak atau kurang memerhatikan hak istri, hendaknya istri bersabar dengan tetap menjalankan kewajiban dan memberikan nasihat kepada suami.
Harus senantiasa diingat bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan amalan kebaikan hamba-hamba-Nya yang beriman.

Biarlah Anjing Menggonggong, Kafilah Tetap Berlalu
Pembaca yang budiman, hak dan kewajiban suami istri telah diatur dalam syariat nan mulia ini. Kita tinggal mempelajari, memahami, dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya. Di sana ada pahala yang menanti bagi yang taat dan azab bagi yang bermaksiat.
Sayang, sungguh sayang, ada pihak-pihak yang berupaya mendobrak tatanan yang sudah sedemikian rapi tersebut, terutama yang berkenaan dengan kewajiban istri. Para pengusung slogan emansipasi wanita dan orang-orang yang telah terpengaruh propaganda kapitalis tidak henti-hentinya menyuarakan suara-suara sumbang untuk meruntuhkan ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu'alaihiwasallam tersebut.

Menurut akal mereka yang telah menyimpang, Islam adalah agama yang memihak kepada kaum pria dan membekukan setengah potensi masyarakat. Wanita dalam Islam mereka katakan dipenjara dalam rumah, harus taat bagai budak, tidak bebas menyalurkan potensi dan kemampuannya. Wanita yang bekerja seharian di rumahnya mereka anggap sebagai pengangguran. Peran mulia wanita mengurus suami, rumah, dan anak-anaknya mereka ibaratkan dengan ungkapan-ungkapan sinis semisal “macak, masak, manak” (Jawa; berdandan, memasak, dan beranak) atau “dapur, sumur, kasur”, dan semisalnya. Tujuan mereka adalah membuat wanita alergi dengan pekerjaan tersebut, seolah-olah semua itu adalah peran yang rendah dan tidak berarti.
Wanita yang bekerja, dalam pandangan mereka, adalah yang pekerjaannya menghasilkan uang sebagaimana halnya pria. Wanita karier yang bercampur baur dan bersaing dengan kaum pria itulah yang mereka anggap mulia dan modern. Sudah barang tentu mereka tidak memikirkan tingginya nilai kesalehan, ketaatan, dan semisalnya. Itulah hasil kebutaan hati mereka terhadap syariat yang mulia ini.
Mereka tidak mau mengakui bahwa fitrah wanita berbeda dengan pria. Mereka tidak mau menerima aturan Dzat yang telah menciptakan manusia, yang Mahatahu tentang kondisi mereka, yang memberikan untuk masing-masing dari kaum pria dan kaum wanita segala haknya dengan penuh kemuliaan dan keadilan.

Saudariku, Islam tidak melarang wanita bekerja mencari uang. Dia boleh membantu suaminya mencari nafkah setelah menunaikan kewajiban-kewajibannya. Namun, pekerjaan yang ditekuni harus selamat dari berbagai penyimpangan syariat, seperti pamer aurat, khalwat (berduaan antara pria dan wanita yang bukan mahram), ikhtilath (bercampur baur dengan pria nonmahram), dan lain-lain. Aturan ini sebenarnya merupakan benteng untuk melindungi kaum wanita dari berbagai gangguan dan tipu daya. Akan tetapi, oleh para penggerak emansipasi wanita, aturan ini dianggap sebagai batu sandungan. Mereka tidak akan puas sebelum wanita benar-benar mendapatkan kebebasan yang sama dengan pria di segala bidang kehidupan.

Tentu saja kita tidak perlu berkecil hati di hadapan mereka. Sebaliknya, kita harus bangga karena parameter kita bukanlah pandangan manusia, melainkan penilaian Allah subhanahuwata'ala. Dialah Dzat yang mampu memasukkan kita ke surga atau ke neraka, bukan mereka. Bukankah akhirat itu lebih baik dan lebih kekal? Cukuplah bagi kita sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِهَا شِئْتِ
“Jika seorang wanita shalat lima waktu, berpuasa bulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, akan dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke surga dari pintu surga mana pun yang engkau kehendaki.” (Shahihul Jami’ no. 660)

Adakah kenikmatan di dunia ini yang mengalahkan surga?
Biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.
Saudariku, demikianlah bahasan tentang kewajiban-kewajiban istri yang bisa kami sampaikan. Semoga Allah memudahkan langkah kita untuk mengamalkan syariat-Nya. Amin, ya Rabbal ‘alamin.
Wallahu a’lam bish shawab.

http://qonitah.com/

Rabu, 07 Oktober 2015

Dijelasakan dengan tegas oleh
Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed hafidzohulloh
dari tanya jawab daruoh Surabaya "Bekal Menghadapi Fitnah"
Ahad, 20 Dzulhijjah 1436H ~ 04 Oktober 2015M
DOWNLOAD AUDIO

Ikhwanifiddiin a'azakumulloh (ada) syubhat, na'uzdubillah, syaithoniyah, sering berkata, membisikan:
"Siapa yang menciptakan ini? siapa yang begini? dan siapa yang menciptakan kamu?" Alloh...
Kemudian bertanya, "Siapa yang menciptakan Alloh?"

Ucapkan أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ !!
Ucapkan أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ !!
Itu syaithon yang berbicara. Karena dia manyamakan antara Khaliq dengan makhluq, dengan satu pertanyaan. Yang ditanya siapa yang menciptakan itu makhluq, sedangkan Alloh Al Khaliq (pencipta-pen). baarokallohufiykum.
Maka stop sampai disitu, dan ucapkan أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ !!
Jangan kamu layani ucapan seperti itu !!

Yang sejenis ini adalah kalimat, "Apakah Alloh bisa menciptakan yang lebih besar dari Dirinya?"
Ini juga sama. Kalau mengatakan tidak bisa berarti Alloh tidak berKuasa, kalau dikatakan bisa berati ada yang lebih besar dari Alloh Subhanahu Wata'ala.
 أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Ikhwanifiddiin a'azakumulloh, ini juga syubhat yang sama.
أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Alloh Maha Kuasa, bisa berbuat apapun sekehendakNya !! Tapi, apakah Alloh mau?
Ati-ati, tadi syubhatnya sesungguhnya rawan atau rapuh sekali. Alloh tetap bisa berbuat apapun. "Berarti dia bisa menciptakan (yang lebih besar-pen)?"
Kalau Alloh kehendaki, tapi Alloh tidak akan mengendaki, kan begitu, selesai.
Nggak ada yang lebih besar dari Alloh Subhanahu Wata'ala.

Ikhwanifiddiin a'azakumulloh, jangan sampai terbawa fitnah ini akhirnya mengucapkan kalimat sesat seperti kalimatnya Zakir Naik, yang katanya ahli debat. Bahwa "aku memiliki 100 (1000-pen) perkara yang Alloh tidak bisa melakukannya."
Astaghfirulloh, ini ucapan-ucapan yang mengerikan, ucapan yang na'udzubillah, ucapan yang bertentangan dengan ucapan Alloh Subhanahu Wata'ala dalam Al Quran berkali-kali.
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ
Alloh atas segala sesuatu Maha Kuasa.
Maha Bisa !!
Dan ini iman !! Siapa yang tidak percaya, kafir.
Ini iman, ini aqidah !! Siapa yang tidak percaya bahwa Alloh 'ala kulli syaiinqadir, berarti dia kafir.

Ikhwanifiddiin a'azakumulloh, alhamdulillah.
Sesungguhnya syubhat-syubhat yang sperti itu sering disebarkan oleh kaum filsafat. Makanya jangan belajar dari Plato, jangan belajar dari Aristo(teles-pen), jangan belajar dari orang Yunani.
Belajar dari Al quran wa sunnah, belajar dari para ulama salaf, belajar dari para sahabat dan tabi'in, belajar dari para imam-imam. Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, belajar dari mereka para aimmah. Na'am.

Terkait Zakir Naik, silakan baca:
mengenal-aqidah-dan-manhaj-drzakir-naik

Untuk Download Audio Full Dauroh, silakan klik link di bawah ini:
 http://www.alfawaaid.net/2015/10/

Senin, 05 Oktober 2015

bahteraku-12
Al-Ustadzah Ummu Luqman Salma

Islam menghendaki keharmonisan hubungan suami istri. Keluarga, yang merupakan elemen masyarakat terkecil, benar-benar dijaga dalam Islam agar terhindar dari keretakan dan kerusakan. Penetapan hak suami atas istrinya dan sebaliknya merupakan bagian dari upaya penjagaan tersebut. Tanpa hal itu niscaya kehidupan suami istri akan berantakan dan kacau balau, apalagi ketika hawa nafsu dan egoisme menguasai. Masing-masing akan berjalan menuruti kemauannya sendiri sehingga bahtera yang telah dibina pun oleng dan berujung dengan kehancuran.
Pada edisi kali ini kami masih membahas sebagian hak suami atas istrinya. Fokus pembahasan kali ini adalah kewajiban istri untuk meminta izin suami. Dalam urusan apa sajakah syariat menetapkan kewajiban ini? Pembaca, kami persilakan Anda menelusuri bahasan berikut.
  • Istri tidak boleh berpuasa sunnah tanpa izin suami
Puasa adalah ibadah yang agung. Di sisi lain, melayani suami juga merupakan ibadah yang mulia. Agar kedua ibadah ini tidak berbenturan, Islam melarang istri untuk berpuasa sunnah kecuali dengan izin suaminya. Islam mengagungkan hak suami di atas puasa sunnah karena memenuhi hak suami hukumnya wajib. Perkara wajib harus didahulukan atas perkara sunnah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Tidak halal bagi istri berpuasa (sunnah, –pen.) dalam keadaan suaminya ada di rumah, kecuali dengan izin sang suami.
(Hadits shahih, riwayat al-Bukhari 7/39, Muslim dengan syarah an-Nawawi 7/115, dan lain-lain)

An-Nawawi berkata, “Sebab pengharaman ini ialah bahwa suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istri setiap saat, dan hak tersebut wajib segera dipenuhi. Suami tidak boleh kehilangan haknya disebabkan perkara sunnah ataupun perkara wajib yang bisa ditunda. Jika dikatakan, ‘Seyogianya istri dibolehkan puasa tanpa izin suami. Jika memang suami ingin bersenang-senang dengannya, itu adalah hak suami sehingga puasa istri dibatalkan’,
jawabnya adalah puasa istri biasanya menahan suami untuk bersenang-senang karena ia(suami) segan untuk merusak puasa tersebut dengan membatalkannya.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim 3/474)

Adapun puasa Ramadhan, istri tidak perlu meminta izin karena puasa Ramadhan adalah hak Allah. Seandainya suami melarang pun, tidak boleh ditaati karena tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah. Untuk puasa-puasa wajib di luar Ramadhan, seperti membayar utang puasa Ramadhan, memenuhi nazar, dan lain-lain, sebaiknya istri bermusyawarah dulu dengan suami agar hubungan tetap harmonis.

Bolehkah suami memaksa istrinya untuk menunda pembayaran utang puasa hingga Sya’ban? Dijelaskan oleh al-Qadhi Abul Walid bahwa suami tidak boleh melakukan hal itu, kecuali jika sang istri melakukannya atas kehendaknya sendiri. Sebab, istri berhak membebaskan diri dari tanggungan kewajiban yang harus ia lakukan. Adapun perkara sunnah, suami boleh melarangnya karena kebutuhannya kepada istri. (al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa’ 2/206)

Jika istri nekat berpuasa sunnah padahal sang suami melarang, rasa lapar dan hausnya tidaklah menghasilkan pahala, bahkan berbuah dosa.
Kewajiban meminta izin ini berlaku ketika suami sedang mukim (tidak bepergian). Adapun saat suami safar (bepergian), istri tidak perlu meminta izin, kecuali jika diperkirakan bahwa suami akan pulang pada hari itu. Suami yang sedang tidak ada tentunya tidak mungkin mengajak istrinya bersenang-senang, yang dapat membatalkan puasanya.
  • Istri tidak boleh keluar dari rumah tanpa izin suami
Telah menjadi fitrah manusia bahwa suami selalu ingin dan senang apabila istrinya menaatinya, menuruti kesenangannya, dan memenuhi kemauannya. Dengan itulah suami akan beroleh ketenangan dan kebahagiaan yang menjadi tujuan pernikahannya. Oleh karena itu, Islam melarang istri melakukan sesuatu yang menyesakkan dada suami dan menyebabkannya merasa diselisihi oleh si istri.
Salah satu hal yang dapat mengecewakan suami adalah keluarnya istri dari rumahnya tanpa izin. Bisa kita bayangkan perasaan suami yang telah lelah bekerja seharian di luar rumah, lalu saat ia pulang dan ingin beristirahat membuang penat, menenangkan jiwa dan bersenang-senang dengan istrinya, ternyata ia dapati rumahnya kosong. Tidak diketahui si istri sedang ke mana. Alangkah kasihan ia. Jika hal ini terjadi sekali dua kali, mungkin suami bisa bersabar. Namun, kalau sering terjadi, lama-lama suami akan muak kepada istri dan rumah tangganya. Karena hal itu amat berbahaya dan mengancam keutuhan rumah tangga, Islam pun melarangnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan tetaplah kalian (para wanita) tinggal di rumah-rumah kalian.”

Namun, hal ini tidak berarti istri tidak boleh keluar sama sekali. Ia boleh keluar untuk memenuhi keperluan-keperluannya, dengan syarat diizinkan oleh suami, aman dari fitnah, dan tidak melanggar syariat. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ
Jika istri-istri kalian meminta izin kepada kalian pada malam hari untuk pergi ke masjid, izinkanlah mereka.” (HR. al-Bukhari 3/374)

Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil ucapan al-Imam an-Nawawi, “Dari hadits ini diambil dalil bahwa istri tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suami, karena perintah untuk memberi izin tersebut ditujukan kepada para suami.” (Fathul Bari 3/266)
Jadi, ke mana pun istri pergi, hendaknya dia meminta izin kepada suami, walaupun kepergiannya itu untuk beribadah ke masjid atau mengunjungi orang tuanya. Dikisahkan, pada saat Ibunda ‘Aisyah tertimpa ujian tuduhan dusta, ia ingin pulang ke rumah ayah bundanya. Ia tidak langsung pulang begitu saja, tetapi meminta izin dulu kepada suami. Ia bertanya, “Apakah Anda (wahai Rasulullah) mengizinkan saya untuk mendatangi kedua orang tua saya?” (HR. al-Bukhari no. 3826)

Jika suami tidak memberikan izin, istri tidak boleh memaksakan diri untuk keluar walaupun untuk ibadah. Harus diingat bahwa hukum asal wanita adalah tinggal di rumah. Hanya pada kondisi-kondisi tertentu semisal kondisi darurat yang membahayakan jiwa, seperti kebakaran dalam rumah, ia terpaksa keluar tanpa izin, atau jika ia yakin bahwa suaminya ridha dengan adanya izin yang dahulu atau kebiasaan suami yang memberikan izin.
  • Istri tidak boleh memasukkan seseorang ke rumah suaminya tanpa izin suami
Bukan hal aneh di kehidupan dunia ini bahwa seseorang memiliki rasa tidak suka kepada orang-orang tertentu. Rasa tidak suka itu mungkin membuatnya tidak ridha jika orang itu masuk ke rumahnya. Karena rumah merupakan wilayah kekuasaan suami, Islam melarang istri memasukkan orang ke rumah tinggal sang suami tanpa izin suami.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, Tidak halal bagi istri berpuasa dalam keadaan suaminya ada di rumah, kecuali dengan izin suami. Tidak boleh istri memberikan izin (seseorang untuk masuk, –pen.) ke rumah suaminya, kecuali dengan izin suami.”
(HR. al-Bukhari)
 Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda, Hak kalian (para suami, –pen.) atas mereka (para istri, -pen.) adalah mereka tidak memasukkan seorang pun—yang tidak kalian sukai—ke rumah kalian. Jika mereka melakukannya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menimbulkan bekas.”
(HR. Muslim no. 1218)

An-Nawawi menerangkan makna hadits ini, “Hendaknya mereka tidak mengizinkan seorang pun—yang tidak kalian sukai—untuk masuk ke rumah kalian dan duduk di tempat tinggal kalian, baik yang diberi izin itu pria asing, wanita, maupun salah satu mahram si istri. Larangan tersebut mencakup semua itu. Inilah hukum permasalahan di sisi ahli fikih, bahwa tidak halal bagi istri mengizinkan seorang pria, wanita, mahramnya, ataupun yang lainnya untuk masuk ke rumah suaminya, kecuali orang yang ia yakini atau ia sangka bahwa suami tidak membencinya. Sebab, hukum asalnya adalah keharaman masuk ke rumah seseorang hingga ada izin darinya atau dari orang yang ia izinkan untuk memberi izin (mewakilinya, -pen.), atau telah diketahui bahwa ia ridha berdasarkan kebiasaan yang berlaku, dan sebagainya. Jika keridhaannya diragukan dan tidak tampak mana yang lebih kuat (ridha atau tidak, -pen.) serta tidak ada sesuatu yang menunjukkan ridhanya, seseorang tidak dihalalkan untuk masuk ataupun memberi izin orang lain untuk masuk.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim 4/312)
  • Tidak mengeluarkan sesuatu dari harta suami tanpa izin suami
Menjaga harta suami merupakan salah satu kewajiban istri terhadap suami. Tidak boleh istri menginfakkan harta suami tanpa izin suami. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَا تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا
“Istri tidak boleh menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin suami.”
(Hadits hasan riwayat Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan Abu Dawud)
Izin suami dalam masalah ini ada dua macam. Pertama, izin yang jelas/terang untuk berinfak dan bersedekah. Kedua, izin yang dipahami dari kebiasaan yang berlangsung. Misalnya, jika pengemis datang, diberi sepotong roti dan sejenisnya, dan hal ini telah biasa terjadi. Jika ridha suami diketahui dari kebiasaannya, izinnya telah didapatkan walaupun ia tidak berbicara. Hal ini kalau ridhanya diyakini dari kebiasaannya, dan jiwanya diyakini seperti jiwa kebanyakan manusia dalam hal kelapangan dan keridhaan terhadap masalah semisal itu. Namun, jika kebiasaannya masih membingungkan dan keridhaannya diragukan, atau ia adalah pria yang pelit terhadap masalah yang semisal itu dan hal ini diketahui dari keadaannya atau masih diragukan, si istri tidak boleh mengeluarkan harta suami kecuali dengan izin yang jelas dari suami.
(Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim 4/95—96)

Demikianlah, Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, beberapa hal yang istri membutuhkan izin suami untuk melakukannya. Jika suami memberi izin, langkah bisa dilanjutkan; jika suami melarang, istri tidak boleh memaksakan diri. Alangkah senangnya jika kita bisa termasuk sebaik-baik wanita yang diberitakan oleh junjungan kita yang mulia.
Pada saat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ditanya siapakah wanita terbaik, beliau menjawab, “Yang menyenangkan suami ketika suami memandangnya, menaati suami ketika suami memerintahnya, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya dengan sesuatu yang membangkitkan kebencian suami.” (HR. an-Nasa’i, dinyatakan shahih oleh al-Albani)
 Istri seperti inilah yang akan menggapai ridha Rabbnya.
Wallahu a’lam bish shawab.

sumber
Apik Elek Bloge Dewek