:::: MENU ::::

Rabu, 05 Agustus 2015

bahteraku-14

Al-Ustadzah Ummu Luqman Salma


Hampir-hampir tidak didapati rasa kasih dan sayang antara dua insan sebagaimana yang didapati pada sepasang suami istri. Allah Yang Mahasuci mencintai kelanggengan kasih sayang antara suami dan istri tersebut.
Allah berfirman,
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (arRum: 21)

Oleh karena itu, Dia mensyariatkan hak-hak yang penunaiannya akan menjaga rasa kasih sayang tersebut sehingga tidak sirna. Apabila kita cermati, pengaturan hak dan kewajiban tersebut benar-benar adil dan bijaksana.
Sungguh, Islam bukanlah agama yang memihak kaum pria sebagaimana disangka oleh segolongan manusia. Allah berfirman,
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (al-Baqarah: 228)
Ini merupakan kaidah yang menyeluruh bahwa perempuan itu setara dengan laki-laki pada semua hak, kecuali pada satu perkara yang difirmankan oleh Allah,
وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ
Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (al-Baqarah: 228)
Allah menyerahkan pengenalan hak dan kewajiban istri tersebut pada kebiasaan yang berlangsung di antara manusia dan pergaulan mereka di dalam ranah keluarga, yang tidak menyelisihi syariat Islam. Kalimat ini menjadi timbangan bagi suami, yang dengannya dia menimbang perlakuannya terhadap istri pada segala perkara dan keadaan. Jika suami ingin menuntut istrinya untuk melakukan suatu hal, dia ingat bahwa dirinya pun mempunyai kewajiban yang setara dengan tuntutannya tersebut. Oleh karena itu, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh aku akan berhias untuk istriku sebagaimana dia berhias untukku.” (Tafsir al-Qurthubi 3/123)

Maka dari itu, seorang muslim sejati pasti mengakui hak-hak istrinya yang menjadi kewajibannya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf”, dan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam,
أَلَا إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا
Ketahuilah, sesungguhnya kalian memiliki hak yang wajib ditunaikan oleh istri-istri kalian, dan istri-istri kalian memiliki hak yang wajib kalian tunaikan.” (Shahih Ibnu Majah no. 1501)
Muslim yang cerdas akan senantiasa berusaha menunaikan hak istrinya tanpa melihat apakah haknya sendiri terpenuhi atau tidak, karena dia bersemangat untuk melanggengkan cinta dan kasih sayang antara keduanya. Di samping itu, dia juga bersemangat untuk menghilangkan kesempatan setan untuk berusaha menceraikan keduanya.

Dalam rangka menunaikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa agama adalah nasihat, akan kami sebutkan di sini hak-hak istri setelah pada edisi lalu kami bahas hak-hak suami. Harapan kami, mudah-mudahan para pasangan suami istri bisa mengambil pelajaran sehingga dapat saling menasihati untuk menaati kebenaran dan menetapi kesabaran.

1. Istri berhak diberi nafkah oleh suaminya sesuai dengan kondisi ekonomi.
Nafkah tersebut meliputi antara lain pakaian, makanan, minuman, dan tempat tinggal. Semua nafkah ini harus halal, tidak mengandung dosa dan kesamaran. Allah berfirman,
لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٖ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٖ يُسۡرٗا ٧
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) rezeki yang Dia berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (ath-Thalaq: 7)
Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, “Wahai Rasulullah, apa hak istri salah seorang di antara kami yang harus ditunaikan oleh suaminya?” Beliau menjawab,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, jangan kaupukul wajahnya, jangan kaujelekkan dia, dan jangan kauboikot dia kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan Ibnu Majah no. 1850)
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
“Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika dia menyia-nyiakan orang yang harus dia nafkahi.” (HR. Muslim no. 996, Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim)
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
إِذَا أَعْطَى اللهُ أَحَدَكُمْ خَيْرًا فَلْيَبْدَأْ بِنَفْسِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ
“Jika Allah memberikan kebaikan kepada salah seorang di antara kalian, hendaknya dia memulai dari dirinya sendiri dan keluarganya.” (HR. Muslim no. 997 dan an-Nasa’i no. 6453)
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Apabila seorang muslim menafkahi keluarganya dalam keadaan mengharapkan pahala dari Allah dengannya, nafkah tersebut terhitung sebagai sedekah baginya.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi)
Diriwayatkan oleh Sa’d radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepadanya,
وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى اللُّقْمَةَ تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya, tidaklah engkau memberi nafkah melainkan akan mendapat pahala, termasuk sesuap makanan yang engkau angkat ke mulut istrimu.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan selain keduanya)
Maka dari itu, para suami wajib mencari pekerjaan yang halal, yang tidak mengandung dosa dan kesamaran. Dari Ka’b bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ، إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ وَدَمٌ نَبَتَا عَلَى سُحْتٍ، النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’b bin ‘Ujrah, tidak akan masuk surga daging dan darah yang tumbuh dari hasil usaha yang haram. Neraka lebih berhak terhadapnya.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib)

2. Istri berhak dipergauli dengan cara yang makruf.
Telah kami singgung di atas bahwa suami wajib mempergauli istrinya menurut cara yang makruf. Allah berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Dan pergaulilah mereka dengan cara yang makruf.” (an-Nisa’: 19)
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Dan para wanita memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (al-Baqarah: 228)
Di bawah ini akan dijelaskan bentuk-bentuk pergaulan yang makruf tersebut.
Bentuk pergaulan yang makruf antara lain:
  • Memuliakan istri, membuatnya ridha, mencintainya, dan memanggilnya dengan panggilan yang paling dia sukai.
  • Memuliakan keluarga istri dengan memuji-muji mereka di hadapan sang istri, saling mengunjungi, dan mengundang mereka dalam acara-acara penting.
  • Berlemah lembut kepadanya saat dia marah dan sabar menghadapinya saat dia sedang benci. Suami harus ingat bahwa wanita adalah makhluk yang lebih sering mengedepankan perasaan daripada mengedepankan akal sehat.
  • Mendengarkan ucapan istri, mengajaknya bermusyawarah, dan menghormati idenya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengambil pendapat Ummu Salamah saat para sahabat enggan melaksanakan perintah beliau pada Perjanjian Hudaibiyah, dan ternyata ide istri beliau ` ini amat tepat.
  • Mengajak istri bercanda dan memberikan kesempatan kepadanya untuk bermain-main dan bercanda selama dalam batasan agama.
  • Memberi istri hadiah pada momen-momen tertentu untuk menyenangkannya.
  • Tidak menyakiti hati istri, baik dengan celaan, umpatan, maupun peremehan.
  • Tidak memukul istri, kecuali kalau istri membangkang atau menyombongkan diri.
  • Tidak mencegah istri untuk mengunjungi karib kerabatnya apabila tidak dikhawatirkan timbulnya fitnah.
  • Tidak membebani istri dengan pekerjaan-pekerjaan di luar kemampuannya.
Ringkasnya, semua hal yang dinilai baik oleh agama, atau dinilai baik oleh adat dan tidak bertentangan dengan agama, adalah termasuk pergaulan yang makruf kepada istri, yang diperintahkan oleh Allah. Ibnu ‘Abbas berkata, “Sungguh aku akan berhias untuk istriku sebagaimana dia berhias untukku.” (Tafsir al-Qurthubi 3/123)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap istriku.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ath-Thabarani, dan al-Hakim)
Para pembaca yang mulia, demikianlah dua kewajiban suami yang bisa kami bahas pada edisi ini, mudah-mudahan dapat menjadi bahan untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Insya Allah akan kami bahas kewajiban-kewajiban lainnya pada edisi yang akan datang.

Wallahu a’lam bish shawab.
sumber: http://qonitah.com/

0 komentar:

Posting Komentar

berkata baik, atau diam

Apik Elek Bloge Dewek