:::: MENU ::::

Kamis, 13 Agustus 2015

bahteraku-16
Al-Ustadzah Ummu Luqman Salma


Belum beranjak dari tema sebelumnya, kali ini kami akan menyebutkan hak-hak istri yang lainnya. Mudah-mudahan bahasan ini dapat menambah ilmu dan amal penulis pada khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya.
  1. Suami tidak membiarkan istri bergaul dengan wanita-wanita yang berperilaku buruk.
Pergaulan amat besar pengaruhnya dalam kehidupan seseorang. Jika istri yang salihah dibiarkan bergaul dengan wanita-wanita pengikut hawa nafsu dan syahwat, lambat laun dia pun akan mengikuti teman-temannya itu. Maka dari itu, suami yang bijaksana hendaknya melarang sang istri untuk bergaul dengan mereka karena begitu besarnya bahaya teman yang buruk ini.
  1. Suami menjaga dan melindungi istri dari setiap perkara yang bisa menjatuhkan kehormatannya.
Suami adalah pemimpin istri. Dia harus mencegah sang istri agar tidak memamerkan kecantikan di hadapan laki-laki bukan mahram, bercampur baur dengan laki-laki bukan mahram, keluar tanpa izin, dan perkara-perkara buruk lainnya. Suami wajib memberikan perlindungan yang menyeluruh dan pengayoman yang mencukupi. Jangan sampai si istri dibiarkan rusak dalam hal akhlak atau agamanya. Jangan sampai suami memberi si istri kesempatan untuk melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebab, suami adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas si istri dan diberi tugas menjaga dan melindunginya. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ
“Kaum pria adalah pemimpin atas kaum wanita.” (an-Nisa’: 34)
dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Dan pria adalah pemimpin dalam keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya.” (Muttafaqun alaihi)
  1. Hendaknya suami memiliki rasa cemburu kepada istrinya.
Di antara tanda kecintaan seorang suami kepada istrinya adalah cemburu kepadanya dan menjaganya dari berbagai gangguan yang bisa menyakitinya, baik berupa pandangan maupun ucapan.
Istri muslimah hendaknya tidak mengizinkan seorang pun masuk ke rumah suaminya kecuali dengan izin sang suami, meskipun orang tersebut kerabatnya sendiri, baik pria maupun wanita, atau wanita asing. Suami lebih tahu tentang kemaslahatan rumah tangga karena dialah pemimpinnya.

Adapun pria asing (yakni bukan mahram), jangan sampai istri mengizinkannya masuk (ketika suaminya tidak ada) meskipun diizinkan oleh suaminya. Sebab, hal itu termasuk dosa. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Khaliq.
Suami harus ingat bahwa dia tidak boleh memasukkan pria bukan mahram untuk menemui istrinya, karena tidak tertutup kemungkinan bahwa pria tersebut akan mengkhianatinya dengan pandangan dan ucapan, dan akan melemparkan api fitnah ke dalam rumah tangganya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hati-hati kalian dari memasuki tempat para wanita!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan ipar?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.”
Harus diingat bahwa setan amat besar ambisinya untuk mencerai-beraikan sepasang suami istri.
  1. Suami bersabar menanggung gangguan si istri.
Di antara sifat-sifat wanita adalah kurang akal dan agamanya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah, karena diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah mayoritas penduduk neraka.”
Para wanita bertanya, “Mengapa, wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda, “Karena kalian banyak melaknat dan mengkufuri suami. Tidak pernah aku melihat orang yang kurang akal dan agamanya, yang lebih mampu menghilangkan akal seorang pria yang teguh pendirian, daripada salah satu dari kalian.”
Mereka bertanya lagi, “Apa kekurangan akal dan agama kami, wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda, Bukankah kesaksian seorang wanita semisal dengan setengah kesaksian seorang pria?”
“Ya,” jawab mereka.
Beliau bersabda, “Itu termasuk kekurangan akalnya. Bukankah wanita yang sedang haid tidak shalat dan tidak puasa?”
“Ya,” jawab mereka pula.
Beliau bersabda, “Itu termasuk kekurangan agamanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifatkan wanita seperti tulang rusuk yang bengkok. Beliau bersabda,
الْمَرْأَةُ كَالضِّلَعِ، إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ
“Wanita itu seperti tulang rusuk yang bengkok. Jika engkau luruskan dia, akan patah. Jika engkau bersenang-senang dengannya, bisa engkau lakukan, tetapi padanya terdapat kebengkokan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Apabila demikian keadaannya, hendaknya suami memperlakukan istri sesuai dengan kadar kemampuan akalnya. Orang yang kuat akalnya seharusnya mampu bertindak bijaksana menghadapi orang yang kurang akalnya. Tidak sepantasnya ia menghukum semua kesalahan yang dilakukan istrinya. Jika ia melakukannya, berarti ia telah menjatuhkan harga dirinya sendiri dan rela disebut sebagai pria yang kurang akal dan agamanya serta bengkok. Hal ini sebagaimana orang waras yang menanggapi dengan serius berbagai perilaku orang gila, sehingga ia pantas pula disebut gila.
Celaan dan kritikan terhadap istri setiap kali berbuat kesalahan, baik kesalahan besar maupun kecil, akan membuat si istri ketakutan dan antipati. Bukannya bertambah baik, si istri justru akan semakin buruk. Kepedihan, kebencian, dan kemarahan yang mendalam akan mengumpul dalam jiwanya. Jika ia tidak kuat menahannya, semua itu lambat laun akan meletus sebagai pemberontakan atau memalingkannya dari kebenaran.

Sepantasnya suami yang mulia menyadari bahwa tidak ada orang yang benar-benar bersih. Jangan terburu-buru ia hukum istri jika terjadi kesalahan. Bahkan, seharusnya ia memberikan udzur. Misalnya, ketika istri terlambat menyiapkan makanan, lupa menyetrika pakaian, terlambat membersihkan rumah, kurang benar mengurus anak, dan semisalnya, sebaiknya suami pura-pura lupa atau tidak tahu. Jika ia terpaksa harus menegur, hendaknya melakukannya dengan lemah lembut. Ia mengawalinya dengan sindiran halus yang mudah-mudahan istrinya memahaminya sebagai nasihat; bukan langsung memarahinya dengan keras dan melancarkan kritik pedas. Sikap seperti ini akan meninggikan kedudukan sang suami dan menampakkan kemuliaan dan kemurahan hatinya.

Namun, bukan berarti seorang suami harus senantiasa memaafkan istrinya dalam semua perkara. Jika istri lalai dalam mengerjakan perkara-perkara penting, seperti shalat, puasa, berhijab, menjaga kesucian diri, dan kewajiban-kewajiban agama yang lain; atau bermudah-mudah mengerjakan perkara yang dilarang dalam agama, suami harus menasihatinya.

Masalah agama harus diperhatikan baik-baik. Tidak boleh diberi udzur jika istri melalaikannya. Namun, tentunya nasihat harus diberikan secara lemah lembut dan bijaksana. Jika terlalu keras diluruskan, ia bisa patah, tetapi jika dibiarkan, ia akan terus-menerus bengkok atau bahkan semakin parah. Maka dari itu, hendaknya suami bersikap bijaksana dalam menilai kesalahan istrinya, apakah pantas dimaafkan atau tidak. Jika harus mencela pun, ia memikirkan dengan baik-baik bentuk celaan yang tepat.

Demikianlah, Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, sekelumit bahasan tentang hak-hak istri atas suaminya yang bisa kami sajikan. Besar harapan kami agar ilmu agama ini bisa kita amalkan dalam kehidupan kita sehari-hari sehingga kemuliaanlah yang akan kita raih. Amin, ya Rabbal ‘Alamin.

Sumber: http://qonitah.com/hak-istri-atas-suaminya-bagian-3/ 

0 komentar:

Posting Komentar

berkata baik, atau diam

Apik Elek Bloge Dewek